BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi membawa dampak terhadap kompleksnya permasalahan
kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut pelayanan kesehatan di rumah sakit juga mengalami perkembangan akibat
meningkatnya tuntutan kebutuhan
masyarakat. Apalagi dengan adanya pergeseran budaya yang menyebabkan perubahan
pola hidup yang bcrdampak terhadap
munculnya berbagai penyakit
terminal. Penyakit terminal adalah suatu keadaan yang menurut akal sehat tidak ada harapan lagi untuk sembuh antaranya carsinoma hati, carsinoma paru, carsinoma
mammae, diabetes mellitus, miocard infark dan gagal ginjal kronik (GGK) (Nugroho,
2000).
Penyebab GGK
yang paling sering ditemukan di New
England adalah glomerulonefritis
kronik (24%), nefropati diabetic
(15%), penyakit ginjal polikistik dan nefritis intenstinal lain ( 85% ) (Price, 2006). Sedangkan di
Amerika Serikat, insiden
penyakit mi berkisar 1200 penderita
persatu juta penduduk dan di Australia
berisar 500 penderita persatu juta penduduk.
Gagal ginjal kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
Gagal ginjal kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
volume cairan, potensial kekurangan volume cairan,
perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan, perubahan integritas kulit, intoleransi
aktifitas, potensial terhadap infeksi, berduka dan kekurangan pengetahuan. World Health Organization
memperkirakan setiap satu juta jiwa terdapat 23-30 orang yang mengalami gagal
ginjal kronik pertahun. Kasus gagal ginjal di dunia meningkat pertahun 50%. Di negara yang sangat maju
tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita gagal ginjal kronik
(Santoso, 2007). Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik
di Indonesia diperkirakan 60.000 orang
dengan pertambahan 4.400 paasien
barn setiap tahunnya. Sedangkan jumlah
pasien cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit.
Jumlah mi hanya bisa melayani 4.000
orang setiap tahun. mi berarti jumlali
pasien yang dapat dilayani
kurang dan 10% (Wijaya, 2009).
Penderita gagal ginjal di provinsi Bengkulu
setiap tahunnya mengalami
peningkatan, mi dapat dilihat
berdasarkan data yang didapat di rekam medik RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Pada tahun 2009 jumlah pasien GGK beijumlah 187 orang, pada tahun 2010 pendenita bei:jumlah 194 ôrang dan path tahun 2011 berjumlah 178 orang. Haemodialisa harus dilakukan secara teratur
tanpa boleh dilewatkan satu hanipun.
Biasanya haemodialisa dilakukan 2-3
kali dalam satu minggu yang
membutuhkan waktu 3-6 jam setiap
kali melakukan haemodialisa. Haemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali
jika menjalani pencangkoakan ginjal, kegiatan haemodialisa akan berlangsung terus menerus selama hidupnya (Lubis, 2006). Apabila
haemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan satu kali maka pasien akan
mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga
daat mengakibatkan kematian (Rubin, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani
haemodialisa. Faktor-faktor tersebut antara lain, tingkat pengetahuan
penderita, tingkat ekonomi, sikap, usia, dukungan keluarga, jarak dengan pusat
haemodialisa, nilai dan keyakinan tentang kesehatan, derajat penyakit, lama
menjalani haemodialisa, motivasi dan keterlibatan tenaga kesehatan, kepatuhan
pasien dalam menjalani haemodialisa dapat memperpanjang umur dan mendapatkan
kesehatan yang lebth baik (Fitriani, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh,
pekerjaan, sikap, keyakinan dan lain sebagainya. Serta faktor pendorong (refording factor)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, motivasi
klien, dorongan dan keluarga dan sebagainya. Pengetahuan seseorang sangatlah mempengarubi
sikap seseorang untuk melakukan suatu hal. Orang yang ahu tentang pentingnya
haemodialisa akan taat menjalani haemodialisa karena tahu akibatnya apabila
haemodialisa tidak dilaksanakan dengan rutin. Begitu juga sebaliknya, orang
yang tidak tahu apa dainpak dan tidak melaksanakan haemodialisa secara rutin,
biasanya tidak mau menjalani haemodialisa.
Berdasarkan survey ftwal yang dilakukan peneliti pada tanggal 10
Desember 2011 di ruang hemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, dan 8 orang
pasien yang melakukan haemodialisa 5 diantaranya
mengatakan tidak tahu manfaat dan haemodialjsa dan tidak rutin melaksanakan
haemodialisa. Sedangkan 3 diantaranya mengatakan paham tentang manfaat
haemodialisa dan rutin menjalani haemodialisa. Dan survei awal juga ditemukan 6
orang pasien GGK, 3 diantaranya setuju dilaksanakan haemodialisa dan 3 orang
tidak setuju dilaksanakan haemodialisa.
Melihat fenomena di atas bagi peneliti ada pengaruh pengetahuan dan
sikap pasien untuk menjalani program haemodialisa. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya akan semakin baik,
sehingga sikap pasien untuk menjalani haemodialisapun akan semakin positif.
Maka penulis tertarik meneliti hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan
pelaksanaan menjalani haemodialisa di rumah sakit dr. M. Yunus kota Bengkulu
tahun 2012.
B.
Rumusan Masalah
Dan
survei ulang path latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalahyalcni, masih adanya pasien GGK yang
tidak rutin dalam pelaksanaan baemodialisa.
C.
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian mi adalah apakah ada hubungan
pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa diruang haemodialisa
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
D.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan
penelitian ml adalah untuk mengetabui hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan
menjalani haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
2.
Tujuan khusus
a. Diketahui distribusi frekuensi
pengetahuan pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
b. Diketahui distribusi
frekuensi silcap pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
c. Diketahui distribusi
frekuensi rutinitas pelaksanaan menjalani
haemodialisa pada pasien GGK di
RSUI) dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
d. Diketahui hubungan
antara tingkat pengetahuan dan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa tahun 2012.
e. Diketahui hubungan sikap pasien
(30K dengan pelaksanaan
haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil
penelitian mi diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah yang dapat bermanfaat dalam perembangan kurikulum keperawatan
medikai bedaii dan sebagai sumber pustaka yang berhubungem dengan gagal ginjal kronik dan haemodialisa.
Secara Praktis Sebagai bahan masukan daim rangka peningkatan program pelayanan kesehatan dan
sekaligus memberikan informasi tentang
tingkat pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa di ruang haemodialisa
RSUD dr. M. Yunus Bengkii1u.
Keaslian Penelitian Ada beberapa
penelitian yang medukung penelitian tentang hubungan pengetahuan dan dikap pasien gagal
ginjal kronik dengan rutinitas
pelaksanaan haemodialisa di ruang
Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012, diantarana adalah sebagai berikut
1.
Andre Novianto (2011) meneliti tentang hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan
tingkat pengetahuan dan sikap
pasien gagal ginjal kronik dengan
rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.
Purwanti (2010) meneliti
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kepatuhan pasien GGK dalam
menjalani program haemodialisis di ruangan haemodialisa rumah sakit dr Moewardi
Surakarta. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan sikap, tingkat
pengetahuan dan tingkat pendidikan asien dalam pelaksanaan haemodialisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau
penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolik, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam
darah) (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gagal ginjal
kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai
penyebab. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron
ginjal. Bila proses penyakit
tidak dihambat, maka pada semua
kasus seluruh nefron akhimya hancur dan diganti dengan jaringan
parut. Meskipun pcnyebabnya banyak,
gambaran klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu dengan yang lain (Price
dan Wilson, 2006).
2. Etiologi
Gagal ginjal
ditandai oleh ketidakmampuan
ginjal mempertahankan fungsi normalnya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh
dalani keadaan asupan makanan normal.
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak massa nefron (Chandrasoma, 2006; Price dun Wilson, 2006).
Penyebab
gagal ginjal kronik tersering dibagi menjadi 8 kelas:
a.
Infeksi tubulointerstisial :
pielonefritis kronik
b.
Peradangan glomerulunefritis
c.
Hipertensi nefroskierosis,
stenosis arteri renalis
d.
Gangguanjaringan ikat : LSE,
skierosis sistemik
e.
Kongenital : penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal
f.
Metobloki : diabetes melitus,
gout, dli
g.
Nefropati toksik : nefropati
timah
h.
Nefropati obstruktif : batu
ginjal, hiperplasi prostat, tumor (Reilly, 2005)
3. Patofisiologi
Gangguan Hipertensi
Infeksi peradangan gangguan penyakit obstruksi obat dan
Metabolik (piolenifitis dan kongemtal jaringan traktus racun
Glomerunefritis)
heredital menyambung urmarius
Terjadi kerusakan nefron 70-80%
Menurunnya fungsi
ginjal
Penurunan GFR
Patofisiologi
Gagal Ginjal Kronik (Brunner dan Suddarth, 2001)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dan
K/DOQI NKF
KDOQI di Amerika pacla tahun 2002 mengesahkan kiasifikasi PGK yang
kemudian diterima secara luas oleh komunitas nefrologis internasional.
Kiasifikasi mi mendefinisikan LFG yang disebut PGK apabila < 60 mi/mm/i ,73
m2 atau> 60 mllmin/1 ,73 m2 ditambah dengan kerusakan ginjaldan menetap >
3 bulan. Kiasifikasi mi jelas mengliaruskan praktisi klinis untuk mengukur atau
memperkirakan LFG yang mana formula MDRD dapat mengakomodasi keperluan
tersebut. Terminologi PGK mi menggantikan istilah gagal ginjal kronik (GGK)
atau insufiensi yang tidak jelas defmisinya, walaupun kontroversi tentang irii
masih berlanjut.
Pada PGK stadium 1 pasien memiliki LFG normal bahkan meningicat
dibandingkan pada stadium 2 dimana LFG menurun. Pasien dikategorikan P0K tidak
hanya berdasarkan eGFR tetapi harus didukung bukti bahwa ada kerusakan ginjal.
Untuk PGK stadium 3 dan 5 tidak diperlukan data kerusakan ginjal. The Usa national
kidneyfoundation ‘s KIDOQI mengeluarkan paiduan dan kiasifikasi dan P0K sebagai berikut:
Kiasifikasi kerusakan ginjal didefinisikan
sebagai:
a. Abnormal patologi atau adanya
penanda kerusakan ginjal seperti abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine atau
pemeriksaan imaging walaupun LFG turun
ringan (PGK stadium 1-2).
b. PGK stadium 3-5 hanya memerlukan penurunan LFG
dengan atau bukan tanpa bukti kerusakan ginjal.
c. Penurunan LFG dengan atau tanpa kerusakan ginjal harus
ada> 3 bulan.
PGK Stadium 1 dan 2
PGK Stadium 1 dan 2
Formula MORD kurang dapat diandalkan
pada fungsi ginjal normal atau sedikit terganggu, disebabkan oleh
adanya hubungan yang terbaik antara kadar kratinin dan LFG dan
formula mi didapatkan dan pasien dengan penyakit ginjal yang biasanya
memiliki LFG < 60m1/menitJl ,73
m2. Saat mi masih ada penelitian
tentang formula yang dapat mengakomodasikan
LFG dengan spektrum yang lebth luas.
Sementara itu ketepatan metoda
yang ada masih disebut suspek.
Oleh karena itu, laporan eGFR untuk stadium mi biasa disebut eGFR> 60 mllmenit/ 1,73 m2 bahkan di Inggnis
eGFR diminta termasuk> 60 mI/menit/1,73 m.
Hal yang penting pada golongan
mi adalah kiasifikasi
adanya
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
PGK
Stadium 3
Pasien P0K stadium 3 menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang
signifikan dan merupakan golongan yang paling lemah terdeteksi. Golongan mi
memiliki resiko terkena penyakit kardiovaskular yang tinggi dibandingkan dengan
normal ( peningkttan 43-100%) dan golongan mi biasanya meninggal akibat
penyakit kardiovaskular sebelum mencapai P0K stadium 5 dan memerlukan dialisis. Peningkatan
resiko kardiovaskuler mulai meningkat pada LFG 75 ml/menitll,73 m2. Perkiraan ini
berdasasarkan penelitian dengan menggunakan formula CD dan MDRD dan belum ada
cut off untuk hal ini.
PGK stadium 3 terjadi 4-5% dan populasi, hal mi dapat ditangaiii
oleh nefrologist seluruhnya. Maka perlu keterlibatan pusat pelayanan primer
untuk menangani golongan ini.
PGK
Stadium 4 dan 5
Pada saat ini diperkirakan path populasi PGK path stadium 4 dan 5 sebesar
0,4 % walaupun perkiraan stadium 5 didapatkan dan prevelansi pasien dialsis
dan transpiantasi di Amerika Serikat yang mungkin tidak terlalu akurat di
negara lain yang memiliki pasien dialisis yang lebih sedilcit. Vaniasi
insidensi dan prevelansi PGK yang diterapi sangat tinggi terutama di negara
mdustri. Sebagai contoh Inggris memiliki prevelansi PGK dengan
terapi ginjal pengganti yang rendah dan diasumsikan bahwa pasien yang hilang mi
tidak pemah terindentifikasi dan tidak pernah dirujuk ke nefrologis. Walaupun
pasien tidak mendapatkan terapi dialisis tetapi pasien masih mendapat keuntungan untuk penatalaksanaan
anemia dan kelainan tulangnya. Fonnula MDRD sulit diandalkan untuk pada pasien dengan
fungsi ginjal yang buruk, karena ekresi kreatinin mendabat konstribusi dan
sekresi tubulus danjalur ekstra renal, selain itu status nutrisi mempengaruhi
validitas formula mi pula. Walaupun demikian kepentingan formula MDRD pada
pasien stadium mi adalah untuk menarik perhatIan Iebih banyak clan nefrologist.
4.
Manifestasi Kilnis
Udema, hipertensi, anoreksia, nausea, vomitus, ulserasi lambung, stomatitis, proteurineria, hematunia,
letargi apatis, penurunan kosentrasi,
anemia, perdarahan, turgor kulit jelek,
gatal path kulit, distrofi renal, hiperkalimea, asidosis metabolic.
5.
Komplikasi Gagal Gmjal Kronik
Menurut Smaltzer
(2000), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendeatan kolaboratif dalam
perawatan, mencakupi:
a. Hiperkalemia: akibat penurunan eskresi, asidosis
metabolic.
b. Perikarditis : efusi feri kardial,
dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi : akibat retensi cairan
dan natrium serta
mall fungsi sistem renin, angiotensin, akiosteron, sindrom uremik.
d. Anemia: akibat penurunan
eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastro entestinal.
e. Penyakit tulang
serta kiasifikasi metastatik akibat retensi fosfat.
6.
Tes Diagnostik
a. Urine
Volume, warna, sadimen, beratjenis, kreatinin, protein.
b. Darah
BUN/kretinin, hitting
darah lengkap, sel darah merah, natrium serum,
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas serum.
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas serum.
c. Pielogrfi intravena
1) Menunjukkan abnormalitas
pelvis ginjal dan ureter
2) Pielografi retregrat
3) Dilakukan bila dicurigai
ada obstruksi yang reversibel
4) Arteriogram ginjal
5) Mengkaji siriFulasi
ginjal dan mengindentifikasi ekstravaskular, massa.
d. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan
ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter,
retensi.
e. Ultrasono ginjal
Menunjukkan
ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
f. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
untuk diagnosis histologis.
g. Endoskopi ginjal retroskop
Hematuria dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal keluar bath, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
h. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan keticlak
seimbangan elektropik dan asam basa,
aritmia, hipertrofi vertikel dan tanda-tanda perikarditis.
7.
Penatalaksanaan
a.
Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk
menegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia,
perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaik abnormalitas biokimia;
menyebabkan caftan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas
; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
b.
Penanganan Hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
masalah utama pada gagal ginjal
akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang
paling mengancam jiwa pada gangguan mi. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar lektrolit serum (nilai kalium> 5.5 meq/1 ;
Si: 5.5 mmol/1) pembahan EKG (tinggi puncak gelombang
T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
c.
Mempertahan Keseimbangan
Cairan
Cairan yang diminum penderita
gagal ginjal tahap lanjut hams diawasi dengan seksama. Paremeter yang tepat
untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat
adalah pengukuran berat harian, asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema
sedangkan asupan yang terlalu
mengakibadkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan ginjal.
Aturan yang dipakai untuk
menentukan banyaknya asupan cairan adalah
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Brunner dan Suddarth, 2001)
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Brunner dan Suddarth, 2001)
B.
Konsep Haemodialisa
1.
Pengertian Haemodialisa
Haemodialisa berasal dan kata hemo yang berarti
darah, dan dialisa yang berarti
pemisahan atau filtrasi. Haemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Haemodialisa digunakan bagi
pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit
akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Terapi haemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dan
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,
kreatinin, asam urat,dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses
difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
2.
Tujuan Haemodialisa
Sebagai
terapi pengganti, kegiatan haemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
3.
Indikasi dan Kontra Indikasi
Haemodialisa
Menurut konsenus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003)
secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dan 15
mL/menit, LFG kurang dan 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG
kurang dan 5 mL/memt walaupun tanpa gej ala dapat menjalani dialisis. Selain
indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat
komplikasi akut sepcrti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang,
dan nefropatik diabetik. Indikasi
hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui
penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan
EDRS (misalnya, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik,
perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol
oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan perdaràhan.
Kontra indikasi dan hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler
pada hemodialisa, akses vaskuler siilit, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit
alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut
dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
4.
Proses Haemodialisa
Dalam
kegiatan haemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut:
a. Proses difusa yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan
kada di dalam drah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam
darah maka semakin banyak bahan yang di pindahkan ke dalam dialisat.
b. proses ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan
terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c. Proses Osmasis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia.
d. Alasan Dilakukannya Dialisa
Dialisa di lakukanjika gagal ginjal
menyebabkan:
a. Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
b. Perikarditis (peradangan kantongjantung)
c. Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan lainnya.
d. Gagal jantung
e. Hiperkalemia (kadar kalium yang
sangat tinggi dalam darah)
f. Frekuensi Dialisa.
Frekuensis, tergantung kepada banyaknya
fungsi ginjal yang tersisa, tetapi
sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 V kalilminggu.
Program dialisa dikatakan
berhasil jika:
1) Penderita kembali menjalani hidup
normal.
2) Penderita kembali menjalanidiet
yang normal.
3) Jumlah sel darah merah dapat
di toleransi.
4) Tekanan darah normal.
Dialisa bisa di gunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal
ginjal kroms atau sebagai
pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa han atau beberapa han atau
beberapa minggu, sampai fungsi
gmjal kembali normal.
5) Komplikasi Pada Haemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005), selama tindakan haemodialisa sering
sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain kram otot, hipotensi,
aritmia, sindrom ketidak seimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, gangguan
pencernaan, infeksi atau peradangan biasa, pembekuan darah dan lain-lain.
Pada peritonial dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah
peritoneum (selaput yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput mi
memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dan
darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut.
Cairan di masukan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke
dalam rongga perut. Cairan harus di biarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolik dan aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan
tersebut, kemudian cairan di keluarkan, dan di ganti dengan cairan yang baru.
(Medicastore, 2006).
Ada empat macam dialisis peritoneal yang kini banyak di gunakan,
satu untuk dalisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
a. Manual
intermittent peritoneal dialisis
b. Continuous
cycler —assisted pperitoneal dialysis
c. Continuous
ambulatory peritoneaL dlalisis (CAPD)
d. Automated
intermitten oeritoneal dialisys (IPD)
Metode haemodialisis
laiunya:
1. High-Flux
Dialisys
2. Continuous
Arteriovenous Hemofiltration (CAVH)
3. Continuous
Arteriovenous Hemodialysis (CAVHD), (Brunner dan Suddarth, 2002).
4. Continuous
Renal Replacement Theraphy (CRRT)
5. Peralatan
haemodialisa
a. Arterial
— Venouse Blood Line (AVBL)
1. Arterial
— Venouse Blood Line terdiri dari:
a) Arterial
Blood Line (ABL)
Adalah tubing-tubing/line plastik yang menghubungan darah dan tubing akses vaskular
tubuh pasien menuju dialiser, disebut
inlet ditandai dengan warna merah.
b) Venouse
Blood Line
Adalah tubing/line plastik
yang rnenghubungkan darah dan dialiser
dengan tubing akses vascular
menuju tubuh pasien disebut
outlet ditandai dengan warna
biru. Priming volume AVBL antara
100-500 ml. Proiming voume adalah cairan
yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dan AVBL dan
kompartemen adalah konektor, ujung runcing, segmen pump, tubing arterial/venouse pressure, tubing udara,
bubble trap, tubing infuse/transfuse
set.
b. Dializer/ginjal btiatan (arterWcial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dan 2
ruang/kompartemen, yaitu:
1. Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah.
2. Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat.
3. Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
4. Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah
dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
a. Air Wated Treatment
Air dalam tindakan hemodialisis dipakai sebagai pencampur dialisat
peka (dialisol).
Air mi dapat berasal dan berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur,
yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi
standar AAMI (Association
for the Advhemodialisaement of Medical Instrument). Junilah air yang
dibutuhkan untuk saatu session hemodialisis seseorang pasien adalah sekitar 120
Liter.
b. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung larutan elekrolit dalam
komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat
dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa
macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk
bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam
air murni/air water treatment sebanyak 9,5
liter dan ada yang bentuk cair (slap pakai).
c. Mesin Haemodialisa
Ada bermacam-macam mesm haemodialisis sesuai dengan mereknya. Tetapi
pririsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan
larutan dialisat, system pemantauan mesin trdiri dan blood circuit dan
dialissat circuit dan berbagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan
komponen tambahan seperti hepanin pump, tombol bicarbonate, control
ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, cateter vena dan blood volume monitor.
d. Perlengapan Haemodialisis Lainnya
Jarum
fungsi, adalah jarum yang dipakai pada saat
melakukan fungsi akses vaskular, macamnya:
1) Single needle
Jarum yang dipakai hanya satu, tetapi
mempunyai dua cabang, yang satu untuk
darah masuk dan yang satu untuk darah
keluar.
2) AV-Fistula
Jarum yang bentuknya seperti wing needle
tetapi ukurannya besar. Jika menggunakan
AV-Fistula in dilakukan dua kali pen usukn.
C.
Konsep Pengetahuan
a.
Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu usaha
yang mendasari seseorang berfikir
secara ilmiah, sedangkan tingkatnya
tergantung path ilmiah pengetahuan
atau dasar pendidikan orang tersebut (Nursalam dan Pariani, 2001). Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what” yang tei:jadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan teijadi melalui panca indera pengithatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
mba yang sebagian besar
dipengaruhi oleh mata dali telinga
(Notoatmodjo, 2010).
Handoko (2000) mengatakan bahwa semakin baik pengetahuan responden, semakin baik pula perilaku seseorang terhadap kesehatannya dan sebaliknya juka pengetahuan tidak baik
maka upaya perlindungan diri terhadap penyakit rendah.
b.
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada 6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam
domain kognitifyaitu:
1) Tahu (know)
Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2) Memahami (Comprehention)
Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
sebenamya.
4) Analisis (Analysys)
Adalah
suatu kernampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesa (Syntesis)
Adalah
suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang, baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi
mi berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behaviaor), pengetahuan yang rendah
kemungkinan dapat mehgurangi rasa percaya dalam hal wawasan maupun kemampuan
dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuaan seseorang maka
akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 2000).
Arikunto
(2006) membagi tingkat pengetahuan menjadi 3 bagian yakni
a. Baik: Hasil presentase 76% - 100%
b. Cukup Hasil presentase 56% —75%
c. Kurang : Hasil presentase <55%
D.
Konsep Sikap
1.
Pengertian
Sikap adalah evaluasi umun yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, obyek atau issue (Azwar S. 2000). Sikap adalah
pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak
sesuai sikap obyek tadi (Gerungan, 2000). Syah (2000), mengatakan sikap
merupakan suatu keadaan internal yang mempengaruhi pilibail tindakan individu
terhadap obyek.
Dan beberapa pengertian di atas maka disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam
kegiatan sosial denagn perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau
kondisi di lingkungan sekitamya.
Gerungan
(2000), memjelaskan tentang sikap yaitu:
a. Sikap tumbuh dan dipelajani sepenjang perkembangan orang yang bersangkutan
dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu.
b. Sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat
ditumbuhkan dan dikembangkan dalam proses belajar.
c. Sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri
sendiri.
d. Sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan
emosional.
2.
Proses Terjadinya Sikap
Menurut
Notoatmodjo (2010), proses terjadinya sikap digambarkan sebagai berikut:
Stimulasi rangsangan proses stimulasi reaksi
tingkah laku sikap tertutup
3.
Komponen Pokok Sikap
Azwar
(2000), membagi struktur sikap menjadi 3 (tiga) komponen yang saling menunjang
yaitu :
a.
Komponen kognitf
Merupakan
reosentasi apa yang dipercaya Oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang
dimiliki individu mengenai suatu yag dapat disamakan penanganan (opini)
b.
Komponen afektjf
Merupakan
perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap yang beratahan terhadap pengaruh
yang mungkin mengubah sikap seseorang.
c.
Komponen konatif
Merupakan
komponen kecenderungan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
4. Tingkatan Sikap
Notoatmodjo
(2010), membagi tingkat sikap meliputi sebagai berikut:
a.
Menerima (receiving)
Menerima
diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan stimulasi yang diberikan obyek.
b.
Merespon (responding)
Memberikan
jawaban apabila ditanya, mengeijakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
c.
Menghargai (valuing)
Mengajak
orang lam untuk mengerjakan alan mendiskusikan dengan orang lain
terhadap
suatu masalah.
d.
Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung
jawab atas semua yang telah dipilih dengan segala resiko adalali mempunyai
sikap yang paling tinggi.
5. Ciri-ciri Sikap
Sri
Utami Rahayuningsih (2008) Psikologi ciri-ciri siikap (Attitude) adalah:
a.
Berorientasi kepada respon:
sikap adalah suatu bentuk dan perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak
(favourable) maupun perasaan tidak
mend ukung (unfavourable) pada suatu objek.
b.
Berorientasi kepada kesiapan
respon: sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon: suatu pola perilaku
tenclensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial
yang telah terkondisikan.
c.
Berorientasi kepada skema
triadic : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
Sikap
adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dininya sendini, orang lain,
obyek atau issue (Azwar S, 2000).
6. Cara Pengukuran Sikap
Sunaryo
(2004), berpendapat bahwa secari garis hesar pengukuran sikap dibedakan melalui
cara yaitu:
a.
Secara langsung
Dengan
cara ini, subyek secara langsung diminta bagaimana sikapnya terhadap suatu
masalah atau hal yang diharapkan kepadanya..
1)
Langsung berstruktur
Mengukur
sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian
rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan diberikan kepada subyek yang
diteliti.
2)
Langsung tak berstruktur
Pengukuran
sikap yang sederhana dan tidak diperlukan yang cukup mendalam, misalnya
mengukur sikap dengan wawancara bebas ataufree interview pengamatan
langsung atau survei.
b.
Secara tidak langsung
Cara
pengukuran sika dengan menggunakan tes, dapat dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudlan ditanya pendapat responden.
7. Skala pengukuran sikap
Dalam
sikap digunakan skala Likert yaitu skia T:
Rumus:
T=50+10
Keterangan:
x =
sekor responden pada skala sikap yang hendak dirubah menjadi sekor
T
X =
mean sekor pada kelompok
S =
standar devisi
Hasil akan diolah pada tiap butir pertanyaan. Pertanyaan positif
atau mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragu-.ragu, tidak setuju,
sangat tidak setuju,diberi rentang nilai 4, 3, 2, 1, 0 sedangkan pertanyaan
negatif atau tidak mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragur agu,
tidak setuju, sangat tidak setuju, diberikan rentang nilai 0, 1, 2, 3, 4,
selanjutnya hasil skor responden dibandingkan dengan mean sekor kelompok lalu
dikategorikan sesuai dengan pertimbangan penelitian sebagai berikut:
Skor
T < mean T : favourable
Skor
T < mean T : unfavourable
8. Faktor Yang Mempengaruhi
Sikap
Azwar
(2005), mengungkapkan faktor yang mempengaruhi sikap sebagai berikut:
a.
Pengalaman pribadi
Untuk
dapat menjadi dasar pembentuk sikap, pengalaman pribadi harus meninggaikan kesan yang kuat, karena
itu sikap akan lebih mudah terbentuk
apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional.
b.
Pengaruh orang lain yang
dianggap penting
Pada
umumnya individu cenderung untuk memiliki sikp yang konfirmis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting.
c.
Pengaruh kebudayaan
Tanpa
disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap
berbagai masalah. Kebudayaan telah mewamai sikap anggota masyarakat.
d.
Media massa
Dalam
pemberitahuan surat kabar maupun radiO, berita yang seharusnya faktual
disampaikan seara obyektif cenderung mempengaruhi sikap orang lain maupun din
sendiri.
e.
Lembaga pendidikan dan lembaga
agama
Konsep
moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah
mengherankan jika konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f.
Faktor emosional
Suatu
bentuk sikap merupakan pemyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
E. Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Pengetahuan merupakan hasil dan tahu dan mi terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2010), tingkat
pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi rutinitas menjalani haemodialisa,
dimana pengetahuan yang kurang terhadap penyakit dan komplikasi yang terjadi
pasien dapat cenderung kurang teratur dalam menjalani program haemodiasisa
karena ketidaktahuan atau mengerti tentang penyakit yang di derita. Sedangkan
seseorang yang pengetahuan baik dan mengerti tentang penyakit dengan segala
komplikasi cenderung akan dapat rutin untuk menjalani program haemoclialisa.
Tingkat pengetahuan yang baik, cukup maupun kurang akan mempengaruhi tingkat
rutinitas atau keteraturan memjalani program haemodialisa (Notoadmodjo, 2010).
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap tindakan
haemodialisa. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien
dalam menjalani haemodialisa. Pada awal menjalani haemodialisa, respon pasien
seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya darah dan sedih
dengan kejadian yang dialami sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk
dapat beradaptasi dengan program haemodialisa.
Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan terapi,
kepatuhan pasien dalam menjalani rutinitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan
pasien gagal ginjal kronik. Salah satu faktor pendukung kepatuhan adalah
pengetahuan pasien tentang program terapi yang dijalaninya. tingkat pendidikan
merupakan salah satu unsur yang penting bagi sumber pengetahuan seorang yang akan mempengaruhi pola berfikir seseorang
dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka makin tinggi tingkat pendidikan seseorang
diharapkan makin besar pula tingkat kepatuhannya dalam melakukan program
pengobatan terhadap penyakitnya (Hasbullah, 2001).
Proses terjadinya pengetahuan
menjadi masalah mendasar bagi pemikiran seseorang. Status pengetahuan seseorang
tentang penyakit gagal ginjal kronik dapat mempengaruhi kemampuannya dalam memilih
dan memutuskan terapi haemodialisa yang
sesuai dengan kondisinya dengan pengambilan keputusan yang tepat.
Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langsung daripada cam berfikir seseorang, termasuk
kemampuan untuk memahami
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan
tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan sendiri.
F. Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Sikap merupakan suatu respons tertutup
seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudali melibalkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang, tidak
senang, setuju, tidak setuju, balk, tidak
balk dan lain sebagainya). Newcomb merupakan
salah satu ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Pengukuran silcap seeara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang
stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat
dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata setuju atau
tidak setuju terhadap pemyataan-pernyataan terhadap objek tertentu.
Sikap dapat didefenisikan dalam banyak versi. Menurut Azwar (2005)
sikap dapat dikata gorikan kedalam 3 (tiga) orientasi pemikiran yaitu : yang
berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang
berorientasi pada sekema triadik. Sebagai landasan utama dan pengukuran sikap
adalah pendefinisian sikap terhadap suatu obyek. Dimana sikap terhadap suatu obyek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek
tersebut. Sifat yang mendukung (favorable)
maupun tidak mendukung/memihak (unvaforable) akan dapat mempengaruhi
tingkat prilaku seseorang (Mar’at, 2004).
Sikap mempengaruhi prilaku melewati suatu proses pengambilan
keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang di peroleh dan pengalaman akan
menimbulkan pengaruh langsung terhadap prilaku. Pengaruh langsung tersebut akan
di realisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu
berada dalam situasi yang betul- betul bebas dan berbagal bentuk tekanan atau
hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat di harapkan bahwa bentuk-
bentuk prilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.
Terbentuknya suatu prilaku, di mulai dan
pemahaman informasi (stimulus) yang baik kemudian sikap yang di
tunjukkan akan sesuai dengan informasi. Kemudian sikap akan menimbulkan respon
berupa prilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi. Apabila
penerimaan prilaku barn melalul proses yang didasari oleh sikap yang positif
maka prilaku tersebut akan berlangsung lama. Sikap merupakan penentu dalam
tingkah laku seseorang dalam memutuskan untuk selalu taat menjalani
haemodialisa. Sikap mempunyai daya dorong bagi individu untuk berprilaku secara
tertentu terhadap objek yang dihadapinya (Mar’at, 2004).
G. Kerangka Konsep
Hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik
dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr M.
Yunus Bengkulu tahun 2012.
H. Hipotesis Alternatif (ha)
1.
Ada hubungan antara pengetahuan
pasien gagal ginj al kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.
Ada hubungan antara sikap
pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodsialisa.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi membawa dampak terhadap kompleksnya permasalahan
kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut pelayanan kesehatan di rumah sakit juga mengalami perkembangan akibat
meningkatnya tuntutan kebutuhan
masyarakat. Apalagi dengan adanya pergeseran budaya yang menyebabkan perubahan
pola hidup yang bcrdampak terhadap
munculnya berbagai penyakit
terminal. Penyakit terminal adalah suatu keadaan yang menurut akal sehat tidak ada harapan lagi untuk sembuh antaranya carsinoma hati, carsinoma paru, carsinoma
mammae, diabetes mellitus, miocard infark dan gagal ginjal kronik (GGK) (Nugroho,
2000).
Penyebab GGK
yang paling sering ditemukan di New
England adalah glomerulonefritis
kronik (24%), nefropati diabetic
(15%), penyakit ginjal polikistik dan nefritis intenstinal lain ( 85% ) (Price, 2006). Sedangkan di
Amerika Serikat, insiden
penyakit mi berkisar 1200 penderita
persatu juta penduduk dan di Australia
berisar 500 penderita persatu juta penduduk.
Gagal ginjal kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
Gagal ginjal kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
volume cairan, potensial kekurangan volume cairan,
perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan, perubahan integritas kulit, intoleransi
aktifitas, potensial terhadap infeksi, berduka dan kekurangan pengetahuan. World Health Organization
memperkirakan setiap satu juta jiwa terdapat 23-30 orang yang mengalami gagal
ginjal kronik pertahun. Kasus gagal ginjal di dunia meningkat pertahun 50%. Di negara yang sangat maju
tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita gagal ginjal kronik
(Santoso, 2007). Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik
di Indonesia diperkirakan 60.000 orang
dengan pertambahan 4.400 paasien
barn setiap tahunnya. Sedangkan jumlah
pasien cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit.
Jumlah mi hanya bisa melayani 4.000
orang setiap tahun. mi berarti jumlali
pasien yang dapat dilayani
kurang dan 10% (Wijaya, 2009).
Penderita gagal ginjal di provinsi Bengkulu
setiap tahunnya mengalami
peningkatan, mi dapat dilihat
berdasarkan data yang didapat di rekam medik RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Pada tahun 2009 jumlah pasien GGK beijumlah 187 orang, pada tahun 2010 pendenita bei:jumlah 194 ôrang dan path tahun 2011 berjumlah 178 orang. Haemodialisa harus dilakukan secara teratur
tanpa boleh dilewatkan satu hanipun.
Biasanya haemodialisa dilakukan 2-3
kali dalam satu minggu yang
membutuhkan waktu 3-6 jam setiap
kali melakukan haemodialisa. Haemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali
jika menjalani pencangkoakan ginjal, kegiatan haemodialisa akan berlangsung terus menerus selama hidupnya (Lubis, 2006). Apabila
haemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan satu kali maka pasien akan
mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga
daat mengakibatkan kematian (Rubin, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani
haemodialisa. Faktor-faktor tersebut antara lain, tingkat pengetahuan
penderita, tingkat ekonomi, sikap, usia, dukungan keluarga, jarak dengan pusat
haemodialisa, nilai dan keyakinan tentang kesehatan, derajat penyakit, lama
menjalani haemodialisa, motivasi dan keterlibatan tenaga kesehatan, kepatuhan
pasien dalam menjalani haemodialisa dapat memperpanjang umur dan mendapatkan
kesehatan yang lebth baik (Fitriani, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh,
pekerjaan, sikap, keyakinan dan lain sebagainya. Serta faktor pendorong (refording factor)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, motivasi
klien, dorongan dan keluarga dan sebagainya. Pengetahuan seseorang sangatlah mempengarubi
sikap seseorang untuk melakukan suatu hal. Orang yang ahu tentang pentingnya
haemodialisa akan taat menjalani haemodialisa karena tahu akibatnya apabila
haemodialisa tidak dilaksanakan dengan rutin. Begitu juga sebaliknya, orang
yang tidak tahu apa dainpak dan tidak melaksanakan haemodialisa secara rutin,
biasanya tidak mau menjalani haemodialisa.
Berdasarkan survey ftwal yang dilakukan peneliti pada tanggal 10
Desember 2011 di ruang hemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, dan 8 orang
pasien yang melakukan haemodialisa 5 diantaranya
mengatakan tidak tahu manfaat dan haemodialjsa dan tidak rutin melaksanakan
haemodialisa. Sedangkan 3 diantaranya mengatakan paham tentang manfaat
haemodialisa dan rutin menjalani haemodialisa. Dan survei awal juga ditemukan 6
orang pasien GGK, 3 diantaranya setuju dilaksanakan haemodialisa dan 3 orang
tidak setuju dilaksanakan haemodialisa.
Melihat fenomena di atas bagi peneliti ada pengaruh pengetahuan dan
sikap pasien untuk menjalani program haemodialisa. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya akan semakin baik,
sehingga sikap pasien untuk menjalani haemodialisapun akan semakin positif.
Maka penulis tertarik meneliti hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan
pelaksanaan menjalani haemodialisa di rumah sakit dr. M. Yunus kota Bengkulu
tahun 2012.
B.
Rumusan Masalah
Dan
survei ulang path latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalahyalcni, masih adanya pasien GGK yang
tidak rutin dalam pelaksanaan baemodialisa.
C.
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian mi adalah apakah ada hubungan
pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa diruang haemodialisa
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
D.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan
penelitian ml adalah untuk mengetabui hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan
menjalani haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
2.
Tujuan khusus
a. Diketahui distribusi frekuensi
pengetahuan pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
b. Diketahui distribusi
frekuensi silcap pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
c. Diketahui distribusi
frekuensi rutinitas pelaksanaan menjalani
haemodialisa pada pasien GGK di
RSUI) dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
d. Diketahui hubungan
antara tingkat pengetahuan dan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa tahun 2012.
e. Diketahui hubungan sikap pasien
(30K dengan pelaksanaan
haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil
penelitian mi diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah yang dapat bermanfaat dalam perembangan kurikulum keperawatan
medikai bedaii dan sebagai sumber pustaka yang berhubungem dengan gagal ginjal kronik dan haemodialisa.
Secara Praktis Sebagai bahan masukan daim rangka peningkatan program pelayanan kesehatan dan
sekaligus memberikan informasi tentang
tingkat pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa di ruang haemodialisa
RSUD dr. M. Yunus Bengkii1u.
Keaslian Penelitian Ada beberapa
penelitian yang medukung penelitian tentang hubungan pengetahuan dan dikap pasien gagal
ginjal kronik dengan rutinitas
pelaksanaan haemodialisa di ruang
Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012, diantarana adalah sebagai berikut
1.
Andre Novianto (2011) meneliti tentang hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan
tingkat pengetahuan dan sikap
pasien gagal ginjal kronik dengan
rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.
Purwanti (2010) meneliti
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kepatuhan pasien GGK dalam
menjalani program haemodialisis di ruangan haemodialisa rumah sakit dr Moewardi
Surakarta. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan sikap, tingkat
pengetahuan dan tingkat pendidikan asien dalam pelaksanaan haemodialisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau
penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolik, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam
darah) (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gagal ginjal
kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai
penyebab. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron
ginjal. Bila proses penyakit
tidak dihambat, maka pada semua
kasus seluruh nefron akhimya hancur dan diganti dengan jaringan
parut. Meskipun pcnyebabnya banyak,
gambaran klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu dengan yang lain (Price
dan Wilson, 2006).
2. Etiologi
Gagal ginjal
ditandai oleh ketidakmampuan
ginjal mempertahankan fungsi normalnya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh
dalani keadaan asupan makanan normal.
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak massa nefron (Chandrasoma, 2006; Price dun Wilson, 2006).
Penyebab
gagal ginjal kronik tersering dibagi menjadi 8 kelas:
a.
Infeksi tubulointerstisial :
pielonefritis kronik
b.
Peradangan glomerulunefritis
c.
Hipertensi nefroskierosis,
stenosis arteri renalis
d.
Gangguanjaringan ikat : LSE,
skierosis sistemik
e.
Kongenital : penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal
f.
Metobloki : diabetes melitus,
gout, dli
g.
Nefropati toksik : nefropati
timah
h.
Nefropati obstruktif : batu
ginjal, hiperplasi prostat, tumor (Reilly, 2005)
3. Patofisiologi
Gangguan Hipertensi
Infeksi peradangan gangguan penyakit obstruksi obat dan
Metabolik (piolenifitis dan kongemtal jaringan traktus racun
Glomerunefritis)
heredital menyambung urmarius
Terjadi kerusakan nefron 70-80%
Menurunnya fungsi
ginjal
Penurunan GFR
Patofisiologi
Gagal Ginjal Kronik (Brunner dan Suddarth, 2001)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dan
K/DOQI NKF
KDOQI di Amerika pacla tahun 2002 mengesahkan kiasifikasi PGK yang
kemudian diterima secara luas oleh komunitas nefrologis internasional.
Kiasifikasi mi mendefinisikan LFG yang disebut PGK apabila < 60 mi/mm/i ,73
m2 atau> 60 mllmin/1 ,73 m2 ditambah dengan kerusakan ginjaldan menetap >
3 bulan. Kiasifikasi mi jelas mengliaruskan praktisi klinis untuk mengukur atau
memperkirakan LFG yang mana formula MDRD dapat mengakomodasi keperluan
tersebut. Terminologi PGK mi menggantikan istilah gagal ginjal kronik (GGK)
atau insufiensi yang tidak jelas defmisinya, walaupun kontroversi tentang irii
masih berlanjut.
Pada PGK stadium 1 pasien memiliki LFG normal bahkan meningicat
dibandingkan pada stadium 2 dimana LFG menurun. Pasien dikategorikan P0K tidak
hanya berdasarkan eGFR tetapi harus didukung bukti bahwa ada kerusakan ginjal.
Untuk PGK stadium 3 dan 5 tidak diperlukan data kerusakan ginjal. The Usa national
kidneyfoundation ‘s KIDOQI mengeluarkan paiduan dan kiasifikasi dan P0K sebagai berikut:
Kiasifikasi kerusakan ginjal didefinisikan
sebagai:
a. Abnormal patologi atau adanya
penanda kerusakan ginjal seperti abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine atau
pemeriksaan imaging walaupun LFG turun
ringan (PGK stadium 1-2).
b. PGK stadium 3-5 hanya memerlukan penurunan LFG
dengan atau bukan tanpa bukti kerusakan ginjal.
c. Penurunan LFG dengan atau tanpa kerusakan ginjal harus
ada> 3 bulan.
PGK Stadium 1 dan 2
PGK Stadium 1 dan 2
Formula MORD kurang dapat diandalkan
pada fungsi ginjal normal atau sedikit terganggu, disebabkan oleh
adanya hubungan yang terbaik antara kadar kratinin dan LFG dan
formula mi didapatkan dan pasien dengan penyakit ginjal yang biasanya
memiliki LFG < 60m1/menitJl ,73
m2. Saat mi masih ada penelitian
tentang formula yang dapat mengakomodasikan
LFG dengan spektrum yang lebth luas.
Sementara itu ketepatan metoda
yang ada masih disebut suspek.
Oleh karena itu, laporan eGFR untuk stadium mi biasa disebut eGFR> 60 mllmenit/ 1,73 m2 bahkan di Inggnis
eGFR diminta termasuk> 60 mI/menit/1,73 m.
Hal yang penting pada golongan
mi adalah kiasifikasi
adanya
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
PGK
Stadium 3
Pasien P0K stadium 3 menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang
signifikan dan merupakan golongan yang paling lemah terdeteksi. Golongan mi
memiliki resiko terkena penyakit kardiovaskular yang tinggi dibandingkan dengan
normal ( peningkttan 43-100%) dan golongan mi biasanya meninggal akibat
penyakit kardiovaskular sebelum mencapai P0K stadium 5 dan memerlukan dialisis. Peningkatan
resiko kardiovaskuler mulai meningkat pada LFG 75 ml/menitll,73 m2. Perkiraan ini
berdasasarkan penelitian dengan menggunakan formula CD dan MDRD dan belum ada
cut off untuk hal ini.
PGK stadium 3 terjadi 4-5% dan populasi, hal mi dapat ditangaiii
oleh nefrologist seluruhnya. Maka perlu keterlibatan pusat pelayanan primer
untuk menangani golongan ini.
PGK
Stadium 4 dan 5
Pada saat ini diperkirakan path populasi PGK path stadium 4 dan 5 sebesar
0,4 % walaupun perkiraan stadium 5 didapatkan dan prevelansi pasien dialsis
dan transpiantasi di Amerika Serikat yang mungkin tidak terlalu akurat di
negara lain yang memiliki pasien dialisis yang lebih sedilcit. Vaniasi
insidensi dan prevelansi PGK yang diterapi sangat tinggi terutama di negara
mdustri. Sebagai contoh Inggris memiliki prevelansi PGK dengan
terapi ginjal pengganti yang rendah dan diasumsikan bahwa pasien yang hilang mi
tidak pemah terindentifikasi dan tidak pernah dirujuk ke nefrologis. Walaupun
pasien tidak mendapatkan terapi dialisis tetapi pasien masih mendapat keuntungan untuk penatalaksanaan
anemia dan kelainan tulangnya. Fonnula MDRD sulit diandalkan untuk pada pasien dengan
fungsi ginjal yang buruk, karena ekresi kreatinin mendabat konstribusi dan
sekresi tubulus danjalur ekstra renal, selain itu status nutrisi mempengaruhi
validitas formula mi pula. Walaupun demikian kepentingan formula MDRD pada
pasien stadium mi adalah untuk menarik perhatIan Iebih banyak clan nefrologist.
4.
Manifestasi Kilnis
Udema, hipertensi, anoreksia, nausea, vomitus, ulserasi lambung, stomatitis, proteurineria, hematunia,
letargi apatis, penurunan kosentrasi,
anemia, perdarahan, turgor kulit jelek,
gatal path kulit, distrofi renal, hiperkalimea, asidosis metabolic.
5.
Komplikasi Gagal Gmjal Kronik
Menurut Smaltzer
(2000), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendeatan kolaboratif dalam
perawatan, mencakupi:
a. Hiperkalemia: akibat penurunan eskresi, asidosis
metabolic.
b. Perikarditis : efusi feri kardial,
dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi : akibat retensi cairan
dan natrium serta
mall fungsi sistem renin, angiotensin, akiosteron, sindrom uremik.
d. Anemia: akibat penurunan
eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastro entestinal.
e. Penyakit tulang
serta kiasifikasi metastatik akibat retensi fosfat.
6.
Tes Diagnostik
a. Urine
Volume, warna, sadimen, beratjenis, kreatinin, protein.
b. Darah
BUN/kretinin, hitting
darah lengkap, sel darah merah, natrium serum,
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas serum.
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas serum.
c. Pielogrfi intravena
1) Menunjukkan abnormalitas
pelvis ginjal dan ureter
2) Pielografi retregrat
3) Dilakukan bila dicurigai
ada obstruksi yang reversibel
4) Arteriogram ginjal
5) Mengkaji siriFulasi
ginjal dan mengindentifikasi ekstravaskular, massa.
d. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan
ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter,
retensi.
e. Ultrasono ginjal
Menunjukkan
ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
f. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
untuk diagnosis histologis.
g. Endoskopi ginjal retroskop
Hematuria dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal keluar bath, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
h. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan keticlak
seimbangan elektropik dan asam basa,
aritmia, hipertrofi vertikel dan tanda-tanda perikarditis.
7.
Penatalaksanaan
a.
Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk
menegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia,
perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaik abnormalitas biokimia;
menyebabkan caftan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas
; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
b.
Penanganan Hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
masalah utama pada gagal ginjal
akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang
paling mengancam jiwa pada gangguan mi. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar lektrolit serum (nilai kalium> 5.5 meq/1 ;
Si: 5.5 mmol/1) pembahan EKG (tinggi puncak gelombang
T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
c.
Mempertahan Keseimbangan
Cairan
Cairan yang diminum penderita
gagal ginjal tahap lanjut hams diawasi dengan seksama. Paremeter yang tepat
untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat
adalah pengukuran berat harian, asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema
sedangkan asupan yang terlalu
mengakibadkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan ginjal.
Aturan yang dipakai untuk
menentukan banyaknya asupan cairan adalah
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Brunner dan Suddarth, 2001)
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Brunner dan Suddarth, 2001)
B.
Konsep Haemodialisa
1.
Pengertian Haemodialisa
Haemodialisa berasal dan kata hemo yang berarti
darah, dan dialisa yang berarti
pemisahan atau filtrasi. Haemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Haemodialisa digunakan bagi
pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit
akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Terapi haemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dan
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,
kreatinin, asam urat,dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses
difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
2.
Tujuan Haemodialisa
Sebagai
terapi pengganti, kegiatan haemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
3.
Indikasi dan Kontra Indikasi
Haemodialisa
Menurut konsenus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003)
secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dan 15
mL/menit, LFG kurang dan 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG
kurang dan 5 mL/memt walaupun tanpa gej ala dapat menjalani dialisis. Selain
indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat
komplikasi akut sepcrti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang,
dan nefropatik diabetik. Indikasi
hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui
penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan
EDRS (misalnya, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik,
perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol
oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan perdaràhan.
Kontra indikasi dan hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler
pada hemodialisa, akses vaskuler siilit, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit
alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut
dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
4.
Proses Haemodialisa
Dalam
kegiatan haemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut:
a. Proses difusa yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan
kada di dalam drah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam
darah maka semakin banyak bahan yang di pindahkan ke dalam dialisat.
b. proses ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan
terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c. Proses Osmasis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia.
d. Alasan Dilakukannya Dialisa
Dialisa di lakukanjika gagal ginjal
menyebabkan:
a. Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
b. Perikarditis (peradangan kantongjantung)
c. Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan lainnya.
d. Gagal jantung
e. Hiperkalemia (kadar kalium yang
sangat tinggi dalam darah)
f. Frekuensi Dialisa.
Frekuensis, tergantung kepada banyaknya
fungsi ginjal yang tersisa, tetapi
sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 V kalilminggu.
Program dialisa dikatakan
berhasil jika:
1) Penderita kembali menjalani hidup
normal.
2) Penderita kembali menjalanidiet
yang normal.
3) Jumlah sel darah merah dapat
di toleransi.
4) Tekanan darah normal.
Dialisa bisa di gunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal
ginjal kroms atau sebagai
pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa han atau beberapa han atau
beberapa minggu, sampai fungsi
gmjal kembali normal.
5) Komplikasi Pada Haemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005), selama tindakan haemodialisa sering
sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain kram otot, hipotensi,
aritmia, sindrom ketidak seimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, gangguan
pencernaan, infeksi atau peradangan biasa, pembekuan darah dan lain-lain.
Pada peritonial dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah
peritoneum (selaput yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput mi
memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dan
darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut.
Cairan di masukan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke
dalam rongga perut. Cairan harus di biarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolik dan aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan
tersebut, kemudian cairan di keluarkan, dan di ganti dengan cairan yang baru.
(Medicastore, 2006).
Ada empat macam dialisis peritoneal yang kini banyak di gunakan,
satu untuk dalisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
a. Manual
intermittent peritoneal dialisis
b. Continuous
cycler —assisted pperitoneal dialysis
c. Continuous
ambulatory peritoneaL dlalisis (CAPD)
d. Automated
intermitten oeritoneal dialisys (IPD)
Metode haemodialisis
laiunya:
1. High-Flux
Dialisys
2. Continuous
Arteriovenous Hemofiltration (CAVH)
3. Continuous
Arteriovenous Hemodialysis (CAVHD), (Brunner dan Suddarth, 2002).
4. Continuous
Renal Replacement Theraphy (CRRT)
5. Peralatan
haemodialisa
a. Arterial
— Venouse Blood Line (AVBL)
1. Arterial
— Venouse Blood Line terdiri dari:
a) Arterial
Blood Line (ABL)
Adalah tubing-tubing/line plastik yang menghubungan darah dan tubing akses vaskular
tubuh pasien menuju dialiser, disebut
inlet ditandai dengan warna merah.
b) Venouse
Blood Line
Adalah tubing/line plastik
yang rnenghubungkan darah dan dialiser
dengan tubing akses vascular
menuju tubuh pasien disebut
outlet ditandai dengan warna
biru. Priming volume AVBL antara
100-500 ml. Proiming voume adalah cairan
yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dan AVBL dan
kompartemen adalah konektor, ujung runcing, segmen pump, tubing arterial/venouse pressure, tubing udara,
bubble trap, tubing infuse/transfuse
set.
b. Dializer/ginjal btiatan (arterWcial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dan 2
ruang/kompartemen, yaitu:
1. Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah.
2. Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat.
3. Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
4. Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah
dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
a. Air Wated Treatment
Air dalam tindakan hemodialisis dipakai sebagai pencampur dialisat
peka (dialisol).
Air mi dapat berasal dan berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur,
yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi
standar AAMI (Association
for the Advhemodialisaement of Medical Instrument). Junilah air yang
dibutuhkan untuk saatu session hemodialisis seseorang pasien adalah sekitar 120
Liter.
b. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung larutan elekrolit dalam
komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat
dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa
macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk
bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam
air murni/air water treatment sebanyak 9,5
liter dan ada yang bentuk cair (slap pakai).
c. Mesin Haemodialisa
Ada bermacam-macam mesm haemodialisis sesuai dengan mereknya. Tetapi
pririsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan
larutan dialisat, system pemantauan mesin trdiri dan blood circuit dan
dialissat circuit dan berbagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan
komponen tambahan seperti hepanin pump, tombol bicarbonate, control
ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, cateter vena dan blood volume monitor.
d. Perlengapan Haemodialisis Lainnya
Jarum
fungsi, adalah jarum yang dipakai pada saat
melakukan fungsi akses vaskular, macamnya:
1) Single needle
Jarum yang dipakai hanya satu, tetapi
mempunyai dua cabang, yang satu untuk
darah masuk dan yang satu untuk darah
keluar.
2) AV-Fistula
Jarum yang bentuknya seperti wing needle
tetapi ukurannya besar. Jika menggunakan
AV-Fistula in dilakukan dua kali pen usukn.
C.
Konsep Pengetahuan
a.
Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu usaha
yang mendasari seseorang berfikir
secara ilmiah, sedangkan tingkatnya
tergantung path ilmiah pengetahuan
atau dasar pendidikan orang tersebut (Nursalam dan Pariani, 2001). Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what” yang tei:jadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan teijadi melalui panca indera pengithatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
mba yang sebagian besar
dipengaruhi oleh mata dali telinga
(Notoatmodjo, 2010).
Handoko (2000) mengatakan bahwa semakin baik pengetahuan responden, semakin baik pula perilaku seseorang terhadap kesehatannya dan sebaliknya juka pengetahuan tidak baik
maka upaya perlindungan diri terhadap penyakit rendah.
b.
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada 6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam
domain kognitifyaitu:
1) Tahu (know)
Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2) Memahami (Comprehention)
Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
sebenamya.
4) Analisis (Analysys)
Adalah
suatu kernampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesa (Syntesis)
Adalah
suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang, baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi
mi berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behaviaor), pengetahuan yang rendah
kemungkinan dapat mehgurangi rasa percaya dalam hal wawasan maupun kemampuan
dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuaan seseorang maka
akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 2000).
Arikunto
(2006) membagi tingkat pengetahuan menjadi 3 bagian yakni
a. Baik: Hasil presentase 76% - 100%
b. Cukup Hasil presentase 56% —75%
c. Kurang : Hasil presentase <55%
D.
Konsep Sikap
1.
Pengertian
Sikap adalah evaluasi umun yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, obyek atau issue (Azwar S. 2000). Sikap adalah
pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak
sesuai sikap obyek tadi (Gerungan, 2000). Syah (2000), mengatakan sikap
merupakan suatu keadaan internal yang mempengaruhi pilibail tindakan individu
terhadap obyek.
Dan beberapa pengertian di atas maka disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam
kegiatan sosial denagn perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau
kondisi di lingkungan sekitamya.
Gerungan
(2000), memjelaskan tentang sikap yaitu:
a. Sikap tumbuh dan dipelajani sepenjang perkembangan orang yang bersangkutan
dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu.
b. Sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat
ditumbuhkan dan dikembangkan dalam proses belajar.
c. Sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri
sendiri.
d. Sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan
emosional.
2.
Proses Terjadinya Sikap
Menurut
Notoatmodjo (2010), proses terjadinya sikap digambarkan sebagai berikut:
Stimulasi rangsangan proses stimulasi reaksi
tingkah laku sikap tertutup
3.
Komponen Pokok Sikap
Azwar
(2000), membagi struktur sikap menjadi 3 (tiga) komponen yang saling menunjang
yaitu :
a.
Komponen kognitf
Merupakan
reosentasi apa yang dipercaya Oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang
dimiliki individu mengenai suatu yag dapat disamakan penanganan (opini)
b.
Komponen afektjf
Merupakan
perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap yang beratahan terhadap pengaruh
yang mungkin mengubah sikap seseorang.
c.
Komponen konatif
Merupakan
komponen kecenderungan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
4. Tingkatan Sikap
Notoatmodjo
(2010), membagi tingkat sikap meliputi sebagai berikut:
a.
Menerima (receiving)
Menerima
diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan stimulasi yang diberikan obyek.
b.
Merespon (responding)
Memberikan
jawaban apabila ditanya, mengeijakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
c.
Menghargai (valuing)
Mengajak
orang lam untuk mengerjakan alan mendiskusikan dengan orang lain
terhadap
suatu masalah.
d.
Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung
jawab atas semua yang telah dipilih dengan segala resiko adalali mempunyai
sikap yang paling tinggi.
5. Ciri-ciri Sikap
Sri
Utami Rahayuningsih (2008) Psikologi ciri-ciri siikap (Attitude) adalah:
a.
Berorientasi kepada respon:
sikap adalah suatu bentuk dan perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak
(favourable) maupun perasaan tidak
mend ukung (unfavourable) pada suatu objek.
b.
Berorientasi kepada kesiapan
respon: sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon: suatu pola perilaku
tenclensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial
yang telah terkondisikan.
c.
Berorientasi kepada skema
triadic : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
Sikap
adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dininya sendini, orang lain,
obyek atau issue (Azwar S, 2000).
6. Cara Pengukuran Sikap
Sunaryo
(2004), berpendapat bahwa secari garis hesar pengukuran sikap dibedakan melalui
cara yaitu:
a.
Secara langsung
Dengan
cara ini, subyek secara langsung diminta bagaimana sikapnya terhadap suatu
masalah atau hal yang diharapkan kepadanya..
1)
Langsung berstruktur
Mengukur
sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian
rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan diberikan kepada subyek yang
diteliti.
2)
Langsung tak berstruktur
Pengukuran
sikap yang sederhana dan tidak diperlukan yang cukup mendalam, misalnya
mengukur sikap dengan wawancara bebas ataufree interview pengamatan
langsung atau survei.
b.
Secara tidak langsung
Cara
pengukuran sika dengan menggunakan tes, dapat dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudlan ditanya pendapat responden.
7. Skala pengukuran sikap
Dalam
sikap digunakan skala Likert yaitu skia T:
Rumus:
T=50+10
Keterangan:
x =
sekor responden pada skala sikap yang hendak dirubah menjadi sekor
T
X =
mean sekor pada kelompok
S =
standar devisi
Hasil akan diolah pada tiap butir pertanyaan. Pertanyaan positif
atau mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragu-.ragu, tidak setuju,
sangat tidak setuju,diberi rentang nilai 4, 3, 2, 1, 0 sedangkan pertanyaan
negatif atau tidak mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragur agu,
tidak setuju, sangat tidak setuju, diberikan rentang nilai 0, 1, 2, 3, 4,
selanjutnya hasil skor responden dibandingkan dengan mean sekor kelompok lalu
dikategorikan sesuai dengan pertimbangan penelitian sebagai berikut:
Skor
T < mean T : favourable
Skor
T < mean T : unfavourable
8. Faktor Yang Mempengaruhi
Sikap
Azwar
(2005), mengungkapkan faktor yang mempengaruhi sikap sebagai berikut:
a.
Pengalaman pribadi
Untuk
dapat menjadi dasar pembentuk sikap, pengalaman pribadi harus meninggaikan kesan yang kuat, karena
itu sikap akan lebih mudah terbentuk
apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional.
b.
Pengaruh orang lain yang
dianggap penting
Pada
umumnya individu cenderung untuk memiliki sikp yang konfirmis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting.
c.
Pengaruh kebudayaan
Tanpa
disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap
berbagai masalah. Kebudayaan telah mewamai sikap anggota masyarakat.
d.
Media massa
Dalam
pemberitahuan surat kabar maupun radiO, berita yang seharusnya faktual
disampaikan seara obyektif cenderung mempengaruhi sikap orang lain maupun din
sendiri.
e.
Lembaga pendidikan dan lembaga
agama
Konsep
moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah
mengherankan jika konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f.
Faktor emosional
Suatu
bentuk sikap merupakan pemyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
E. Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Pengetahuan merupakan hasil dan tahu dan mi terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2010), tingkat
pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi rutinitas menjalani haemodialisa,
dimana pengetahuan yang kurang terhadap penyakit dan komplikasi yang terjadi
pasien dapat cenderung kurang teratur dalam menjalani program haemodiasisa
karena ketidaktahuan atau mengerti tentang penyakit yang di derita. Sedangkan
seseorang yang pengetahuan baik dan mengerti tentang penyakit dengan segala
komplikasi cenderung akan dapat rutin untuk menjalani program haemoclialisa.
Tingkat pengetahuan yang baik, cukup maupun kurang akan mempengaruhi tingkat
rutinitas atau keteraturan memjalani program haemodialisa (Notoadmodjo, 2010).
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap tindakan
haemodialisa. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien
dalam menjalani haemodialisa. Pada awal menjalani haemodialisa, respon pasien
seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya darah dan sedih
dengan kejadian yang dialami sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk
dapat beradaptasi dengan program haemodialisa.
Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan terapi,
kepatuhan pasien dalam menjalani rutinitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan
pasien gagal ginjal kronik. Salah satu faktor pendukung kepatuhan adalah
pengetahuan pasien tentang program terapi yang dijalaninya. tingkat pendidikan
merupakan salah satu unsur yang penting bagi sumber pengetahuan seorang yang akan mempengaruhi pola berfikir seseorang
dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka makin tinggi tingkat pendidikan seseorang
diharapkan makin besar pula tingkat kepatuhannya dalam melakukan program
pengobatan terhadap penyakitnya (Hasbullah, 2001).
Proses terjadinya pengetahuan
menjadi masalah mendasar bagi pemikiran seseorang. Status pengetahuan seseorang
tentang penyakit gagal ginjal kronik dapat mempengaruhi kemampuannya dalam memilih
dan memutuskan terapi haemodialisa yang
sesuai dengan kondisinya dengan pengambilan keputusan yang tepat.
Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langsung daripada cam berfikir seseorang, termasuk
kemampuan untuk memahami
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan
tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan sendiri.
F. Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Sikap merupakan suatu respons tertutup
seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudali melibalkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang, tidak
senang, setuju, tidak setuju, balk, tidak
balk dan lain sebagainya). Newcomb merupakan
salah satu ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Pengukuran silcap seeara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang
stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat
dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata setuju atau
tidak setuju terhadap pemyataan-pernyataan terhadap objek tertentu.
Sikap dapat didefenisikan dalam banyak versi. Menurut Azwar (2005)
sikap dapat dikata gorikan kedalam 3 (tiga) orientasi pemikiran yaitu : yang
berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang
berorientasi pada sekema triadik. Sebagai landasan utama dan pengukuran sikap
adalah pendefinisian sikap terhadap suatu obyek. Dimana sikap terhadap suatu obyek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek
tersebut. Sifat yang mendukung (favorable)
maupun tidak mendukung/memihak (unvaforable) akan dapat mempengaruhi
tingkat prilaku seseorang (Mar’at, 2004).
Sikap mempengaruhi prilaku melewati suatu proses pengambilan
keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang di peroleh dan pengalaman akan
menimbulkan pengaruh langsung terhadap prilaku. Pengaruh langsung tersebut akan
di realisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu
berada dalam situasi yang betul- betul bebas dan berbagal bentuk tekanan atau
hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat di harapkan bahwa bentuk-
bentuk prilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.
Terbentuknya suatu prilaku, di mulai dan
pemahaman informasi (stimulus) yang baik kemudian sikap yang di
tunjukkan akan sesuai dengan informasi. Kemudian sikap akan menimbulkan respon
berupa prilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi. Apabila
penerimaan prilaku barn melalul proses yang didasari oleh sikap yang positif
maka prilaku tersebut akan berlangsung lama. Sikap merupakan penentu dalam
tingkah laku seseorang dalam memutuskan untuk selalu taat menjalani
haemodialisa. Sikap mempunyai daya dorong bagi individu untuk berprilaku secara
tertentu terhadap objek yang dihadapinya (Mar’at, 2004).
G. Kerangka Konsep
Hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik
dengan pelaksanaan menjalani
haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr M.
Yunus Bengkulu tahun 2012.
H. Hipotesis Alternatif (ha)
1.
Ada hubungan antara pengetahuan
pasien gagal ginj al kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.
Ada hubungan antara sikap
pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodsialisa.
No comments:
Post a Comment