Search This Blog

Sunday, June 26, 2016

Hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak terhadap kompleksnya permasalahan kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut pelayanan kesehatan di rumah sakit juga mengalami perkembangan akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat. Apalagi dengan adanya pergeseran budaya yang menyebabkan perubahan pola hidup yang bcrdampak terhadap munculnya berbagai penyakit terminal. Penyakit terminal adalah suatu keadaan yang menurut akal sehat tidak ada harapan lagi untuk sembuh antaranya carsinoma hati, carsinoma paru, carsinoma mammae, diabetes mellitus, miocard infark dan gagal ginjal kronik (GGK) (Nugroho, 2000). 
Penyebab GGK yang paling sering ditemukan di New England adalah glomerulonefritis kronik (24%), nefropati diabetic (15%), penyakit ginjal polikistik dan nefritis intenstinal lain ( 85% ) (Price, 2006). Sedangkan di Amerika Serikat, insiden penyakit mi berkisar 1200 penderita persatu juta penduduk dan di Australia berisar 500 penderita persatu juta penduduk.
Gagal ginjal
kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
volume cairan, potensial kekurangan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan, perubahan integritas kulit, intoleransi aktifitas, potensial terhadap infeksi, berduka dan kekurangan pengetahuan. World Health Organization memperkirakan setiap satu juta jiwa terdapat 23-30 orang yang mengalami gagal ginjal kronik pertahun. Kasus gagal ginjal di dunia meningkat pertahun 50%. Di negara yang sangat maju tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita gagal ginjal kronik (Santoso, 2007). Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan 60.000 orang dengan pertambahan 4.400 paasien barn setiap tahunnya. Sedangkan jumlah pasien cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit. Jumlah mi hanya bisa melayani 4.000 orang setiap tahun. mi berarti jumlali pasien yang dapat dilayani kurang dan 10% (Wijaya, 2009).
Penderita gagal ginjal di provinsi Bengkulu setiap tahunnya mengalami peningkatan, mi dapat dilihat berdasarkan data yang didapat di rekam medik RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Pada tahun 2009 jumlah pasien GGK beijumlah 187 orang, pada tahun 2010 pendenita bei:jumlah 194 ôrang dan path tahun 2011 berjumlah 178 orang.  Haemodialisa harus dilakukan secara teratur tanpa boleh dilewatkan satu hanipun. Biasanya haemodialisa dilakukan 2-3 kali dalam satu minggu yang membutuhkan waktu 3-6 jam setiap kali melakukan haemodialisa. Haemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali jika menjalani pencangkoakan ginjal, kegiatan haemodialisa akan berlangsung terus menerus selama   hidupnya (Lubis, 2006). Apabila haemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan satu kali maka pasien akan mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga daat mengakibatkan kematian (Rubin, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani haemodialisa. Faktor-faktor tersebut antara lain, tingkat pengetahuan penderita, tingkat ekonomi, sikap, usia, dukungan keluarga, jarak dengan pusat haemodialisa, nilai dan keyakinan tentang kesehatan, derajat penyakit, lama menjalani haemodialisa, motivasi dan keterlibatan tenaga kesehatan, kepatuhan pasien dalam menjalani haemodialisa dapat memperpanjang umur dan mendapatkan kesehatan yang lebth baik (Fitriani, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh, pekerjaan, sikap, keyakinan dan lain sebagainya. Serta faktor pendorong (refording factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, motivasi klien, dorongan dan keluarga dan sebagainya. Pengetahuan seseorang sangatlah mempengarubi sikap seseorang untuk melakukan suatu hal. Orang yang ahu tentang pentingnya haemodialisa akan taat menjalani haemodialisa karena tahu akibatnya apabila haemodialisa tidak dilaksanakan dengan rutin. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak tahu apa dainpak dan tidak melaksanakan haemodialisa secara rutin, biasanya tidak mau menjalani haemodialisa.
Berdasarkan survey ftwal yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Desember 2011 di ruang hemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, dan 8 orang pasien yang melakukan haemodialisa 5 diantaranya mengatakan tidak tahu manfaat dan haemodialjsa dan tidak rutin melaksanakan haemodialisa. Sedangkan 3 diantaranya mengatakan paham tentang manfaat haemodialisa dan rutin menjalani haemodialisa. Dan survei awal juga ditemukan 6 orang pasien GGK, 3 diantaranya setuju dilaksanakan haemodialisa dan 3 orang tidak setuju dilaksanakan haemodialisa.
Melihat fenomena di atas bagi peneliti ada pengaruh pengetahuan dan sikap pasien untuk menjalani program haemodialisa. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya akan semakin baik, sehingga sikap pasien untuk menjalani haemodialisapun akan semakin positif. Maka penulis tertarik meneliti hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa di rumah sakit dr. M. Yunus kota Bengkulu tahun 2012.

B.     Rumusan Masalah
      Dan survei ulang path latar belakang di atas, peneliti merumuskan  masalahyalcni, masih adanya pasien GGK yang tidak rutin dalam pelaksanaan baemodialisa.




C.    Pertanyaan Penelitian
      Pertanyaan pada penelitian mi adalah apakah ada hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa diruang haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.

D.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan umum
            Tujuan penelitian ml adalah untuk mengetabui hubungan pengetahuan  dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan menjalani  haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012. 
2.      Tujuan khusus
a.       Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012. 
b.      Diketahui distribusi frekuensi silcap pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
c.       Diketahui distribusi frekuensi rutinitas pelaksanaan menjalani haemodialisa pada pasien GGK di RSUI) dr. M. Yunus Bengkulu  tahun 2012.
d.      Diketahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa tahun 2012.
e.       Diketahui hubungan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
E.     Manfaat Penelitian
1.      Secara Teoritis 
Hasil penelitian mi diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah  yang dapat bermanfaat dalam perembangan kurikulum keperawatan  medikai bedaii dan sebagai sumber pustaka yang berhubungem dengan  gagal ginjal kronik dan haemodialisa.
Secara Praktis  Sebagai bahan masukan daim rangka peningkatan program pelayanan kesehatan dan sekaligus memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkii1u.  
Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang medukung penelitian tentang hubungan pengetahuan dan dikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012, diantarana adalah sebagai berikut
1.      Andre Novianto (2011) meneliti tentang hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan tingkat pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.      Purwanti (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kepatuhan pasien GGK dalam menjalani program haemodialisis di ruangan haemodialisa rumah sakit dr Moewardi Surakarta. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan sikap, tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan asien dalam pelaksanaan haemodialisa.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1.      Pengertian
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolik, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhimya hancur dan diganti dengan jaringan parut. Meskipun pcnyebabnya banyak, gambaran klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu dengan yang lain (Price dan Wilson, 2006).
2.      Etiologi
Gagal ginjal ditandai oleh ketidakmampuan ginjal mempertahankan fungsi normalnya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalani keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik terjadi  setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron (Chandrasoma, 2006; Price dun Wilson, 2006).
Penyebab gagal ginjal kronik tersering dibagi menjadi 8 kelas:
a.       Infeksi tubulointerstisial : pielonefritis kronik
b.      Peradangan glomerulunefritis
c.       Hipertensi nefroskierosis, stenosis arteri renalis
d.      Gangguanjaringan ikat : LSE, skierosis sistemik
e.       Kongenital : penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
f.       Metobloki : diabetes melitus, gout, dli
g.      Nefropati toksik : nefropati timah
h.      Nefropati obstruktif : batu ginjal, hiperplasi prostat, tumor (Reilly, 2005)



3.      Patofisiologi
                      Gangguan   Hipertensi      Infeksi peradangan         gangguan     penyakit         obstruksi      obat dan
                      Metabolik                         (piolenifitis dan             kongemtal      jaringan            traktus       racun
                                                               Glomerunefritis)           heredital         menyambung   urmarius







 




Terjadi kerusakan nefron 70-80%





 



Menurunnya fungsi ginjal





 Penurunan GFR


 













Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik (Brunner dan Suddarth, 2001)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dan K/DOQI NKF
KDOQI di Amerika pacla tahun 2002 mengesahkan kiasifikasi PGK yang kemudian diterima secara luas oleh komunitas nefrologis internasional. Kiasifikasi mi mendefinisikan LFG yang disebut PGK apabila < 60 mi/mm/i ,73 m2 atau> 60 mllmin/1 ,73 m2 ditambah dengan kerusakan ginjaldan menetap > 3 bulan. Kiasifikasi mi jelas mengliaruskan praktisi klinis untuk mengukur atau memperkirakan LFG yang mana formula MDRD dapat mengakomodasi keperluan tersebut. Terminologi PGK mi menggantikan istilah gagal ginjal kronik (GGK) atau insufiensi yang tidak jelas defmisinya, walaupun kontroversi tentang irii masih berlanjut.
Pada PGK stadium 1 pasien memiliki LFG normal bahkan meningicat dibandingkan pada stadium 2 dimana LFG menurun. Pasien dikategorikan P0K tidak hanya berdasarkan eGFR tetapi harus didukung bukti bahwa ada kerusakan ginjal. Untuk PGK stadium 3 dan 5 tidak diperlukan data kerusakan ginjal. The Usa national kidneyfoundation ‘s KIDOQI mengeluarkan paiduan dan kiasifikasi dan P0K sebagai berikut:
Kiasifikasi kerusakan ginjal didefinisikan sebagai:
a.       Abnormal patologi atau adanya penanda kerusakan ginjal seperti abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine atau pemeriksaan  imaging walaupun LFG turun ringan (PGK stadium 1-2).
b.      PGK stadium 3-5 hanya memerlukan penurunan LFG dengan atau bukan tanpa bukti kerusakan ginjal.
c.       Penurunan LFG dengan atau tanpa kerusakan ginjal harus ada> 3 bulan.
PGK Stadium 1 dan 2
Formula MORD kurang dapat diandalkan pada fungsi ginjal normal atau sedikit terganggu, disebabkan oleh adanya hubungan yang terbaik antara kadar kratinin dan LFG dan formula mi didapatkan dan pasien dengan penyakit ginjal yang biasanya memiliki LFG < 60m1/menitJl ,73 m2. Saat mi masih ada penelitian tentang formula yang dapat mengakomodasikan LFG dengan spektrum yang lebth luas. Sementara itu ketepatan metoda yang ada masih disebut suspek. Oleh karena itu, laporan eGFR untuk stadium  mi biasa disebut eGFR> 60 mllmenit/ 1,73 m2 bahkan di Inggnis eGFR diminta termasuk> 60 mI/menit/1,73 m.
Hal yang penting pada golongan mi adalah kiasifikasi adanya
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk  segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
PGK Stadium 3
Pasien P0K stadium 3 menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang signifikan dan merupakan golongan yang paling lemah terdeteksi. Golongan mi memiliki resiko terkena penyakit kardiovaskular yang tinggi dibandingkan dengan normal ( peningkttan 43-100%) dan golongan mi biasanya meninggal akibat penyakit kardiovaskular sebelum mencapai P0K stadium 5 dan memerlukan dialisis. Peningkatan resiko kardiovaskuler mulai meningkat pada LFG 75 ml/menitll,73 m2. Perkiraan ini berdasasarkan penelitian dengan menggunakan formula CD dan MDRD dan belum ada cut off untuk hal ini.
PGK stadium 3 terjadi 4-5% dan populasi, hal mi dapat ditangaiii oleh nefrologist seluruhnya. Maka perlu keterlibatan pusat pelayanan primer untuk menangani golongan ini.
PGK Stadium 4 dan 5
Pada saat ini diperkirakan path populasi PGK path stadium 4 dan 5 sebesar 0,4 % walaupun perkiraan stadium 5 didapatkan dan prevelansi pasien dialsis dan transpiantasi di Amerika Serikat yang mungkin tidak terlalu akurat di negara lain yang memiliki pasien dialisis yang lebih sedilcit. Vaniasi insidensi dan prevelansi PGK yang diterapi sangat tinggi terutama di negara mdustri. Sebagai contoh  Inggris memiliki prevelansi PGK dengan terapi ginjal pengganti yang rendah dan diasumsikan bahwa pasien yang hilang mi tidak pemah terindentifikasi dan tidak pernah dirujuk ke nefrologis. Walaupun pasien tidak mendapatkan terapi dialisis tetapi pasien masih mendapat keuntungan untuk penatalaksanaan anemia dan kelainan tulangnya. Fonnula MDRD sulit diandalkan untuk pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk, karena ekresi kreatinin mendabat konstribusi dan sekresi tubulus danjalur ekstra renal, selain itu status nutrisi mempengaruhi validitas formula mi pula. Walaupun demikian kepentingan formula MDRD pada pasien stadium mi adalah untuk menarik perhatIan Iebih banyak clan nefrologist.
4.      Manifestasi Kilnis
Udema, hipertensi, anoreksia, nausea, vomitus, ulserasi lambung, stomatitis, proteurineria, hematunia, letargi apatis, penurunan kosentrasi, anemia, perdarahan, turgor kulit jelek, gatal path kulit, distrofi renal, hiperkalimea, asidosis metabolic.
5.      Komplikasi Gagal Gmjal Kronik
Menurut Smaltzer (2000), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendeatan kolaboratif dalam perawatan, mencakupi:
a.       Hiperkalemia: akibat penurunan eskresi, asidosis metabolic.
b.      Perikarditis : efusi feri kardial, dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c.       Hipertensi : akibat retensi cairan dan natrium serta mall fungsi sistem renin, angiotensin, akiosteron, sindrom uremik.
d.      Anemia: akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastro entestinal.
e.       Penyakit tulang serta kiasifikasi metastatik akibat retensi fosfat.


6.      Tes Diagnostik
a.       Urine
Volume, warna, sadimen, beratjenis, kreatinin, protein.
b.      Darah
BUN/kretinin, hitting darah lengkap, sel darah merah, natrium serum,
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas
serum.
c.       Pielogrfi intravena
1)      Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
2)      Pielografi retregrat
3)      Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
4)      Arteriogram ginjal
5)      Mengkaji siriFulasi ginjal dan mengindentifikasi ekstravaskular, massa.
d.      Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
e.       Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
f.       Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
g.      Endoskopi ginjal retroskop
Hematuria dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal keluar bath,  hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
h.      EKG
Mungkin abnormal menunjukkan keticlak seimbangan elektropik dan  asam basa, aritmia, hipertrofi vertikel dan tanda-tanda perikarditis.


7.      Penatalaksanaan
a.      Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk menegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaik abnormalitas biokimia; menyebabkan caftan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
b.      Penanganan Hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling  mengancam jiwa pada gangguan mi. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar lektrolit serum (nilai kalium> 5.5 meq/1 ; Si: 5.5 mmol/1) pembahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan  perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
c.       Mempertahan Keseimbangan Cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut hams diawasi dengan seksama. Paremeter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat harian, asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema sedangkan asupan yang terlalu mengakibadkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan ginjal. 
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan  adalah
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL)  (Brunner dan Suddarth, 2001)

B.     Konsep Haemodialisa
1.      Pengertian Haemodialisa
Haemodialisa berasal dan kata hemo yang berarti darah, dan dialisa yang berarti pemisahan atau filtrasi. Haemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Haemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien  berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Terapi haemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dan peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat,dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
2.      Tujuan Haemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan haemodialisa mempunyai tujuan:
a.       Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin.
b.      Membuang kelebihan air.
c.       Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d.      Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e.       Memperbaiki status kesehatan penderita.
3.      Indikasi dan Kontra Indikasi Haemodialisa
Menurut konsenus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dan 15 mL/menit, LFG kurang dan 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dan 5 mL/memt walaupun tanpa gej ala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut sepcrti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.  Indikasi hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan EDRS (misalnya, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik, perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan perdaràhan. Kontra indikasi dan hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler siilit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
4.      Proses Haemodialisa
Dalam kegiatan haemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut:
a.       Proses difusa yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kada di dalam drah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang di pindahkan ke dalam dialisat.
b.      proses ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c.       Proses Osmasis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia.
d.      Alasan Dilakukannya Dialisa
Dialisa di lakukanjika gagal ginjal menyebabkan:
a.       Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
b.      Perikarditis (peradangan kantongjantung)
c.       Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lainnya.
d.      Gagal jantung
e.       Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)
f.       Frekuensi Dialisa.
Frekuensis, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa,  tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 V  kalilminggu.
Program dialisa dikatakan berhasil jika:
1)      Penderita kembali menjalani hidup normal.
2)      Penderita kembali menjalanidiet yang normal.
3)      Jumlah sel darah merah dapat di toleransi.
4)      Tekanan darah normal.
Dialisa bisa di gunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kroms atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa han atau beberapa han atau beberapa minggu, sampai fungsi gmjal kembali normal.
5)      Komplikasi Pada Haemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005), selama tindakan haemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain kram otot, hipotensi, aritmia, sindrom ketidak seimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, gangguan pencernaan, infeksi atau peradangan biasa, pembekuan darah dan lain-lain.
Pada peritonial dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah peritoneum (selaput yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput mi memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dan darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan di masukan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus di biarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dan aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan di keluarkan, dan di ganti dengan cairan yang baru. (Medicastore, 2006).
Ada empat macam dialisis peritoneal yang kini banyak di gunakan, satu untuk dalisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
a.       Manual intermittent peritoneal dialisis
b.      Continuous cycler —assisted pperitoneal dialysis
c.       Continuous ambulatory peritoneaL dlalisis (CAPD)
d.      Automated intermitten oeritoneal dialisys (IPD) 
Metode haemodialisis laiunya:
1.      High-Flux Dialisys
2.      Continuous Arteriovenous Hemofiltration (CAVH)
3.      Continuous Arteriovenous Hemodialysis (CAVHD), (Brunner dan Suddarth, 2002).
4.      Continuous Renal Replacement Theraphy (CRRT)
5.      Peralatan haemodialisa
a.       Arterial Venouse Blood Line (AVBL)
1.      Arterial Venouse Blood Line terdiri dari:
a)      Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing-tubing/line plastik yang  menghubungan darah dan tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut inlet ditandai dengan  warna merah.
b)      Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastik yang rnenghubungkan darah dan dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. Proiming voume adalah cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dan AVBL dan kompartemen  adalah konektor, ujung runcing, segmen pump, tubing  arterial/venouse pressure, tubing udara, bubble trap,  tubing infuse/transfuse set.
b.      Dializer/ginjal btiatan (arterWcial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dan 2 ruang/kompartemen, yaitu:
1.      Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah.
2.      Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat.
3.      Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
4.      Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
a.       Air Wated Treatment
Air dalam tindakan hemodialisis dipakai sebagai pencampur dialisat peka (dialisol). Air mi dapat berasal dan berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advhemodialisaement of Medical Instrument). Junilah air yang dibutuhkan untuk saatu session hemodialisis seseorang pasien adalah sekitar 120 Liter.


b.      Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung larutan elekrolit dalam komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk cair (slap pakai).
c.       Mesin Haemodialisa
Ada bermacam-macam mesm haemodialisis sesuai dengan mereknya. Tetapi pririsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dialisat, system pemantauan mesin trdiri dan blood circuit dan dialissat circuit dan berbagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti hepanin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, cateter vena dan blood volume monitor.
d.      Perlengapan Haemodialisis Lainnya
Jarum fungsi, adalah jarum yang dipakai pada saat  melakukan fungsi akses vaskular, macamnya:
1)      Single needle
Jarum yang dipakai hanya satu, tetapi mempunyai dua  cabang, yang satu untuk darah masuk dan yang satu untuk  darah keluar.
2)      AV-Fistula
Jarum yang bentuknya seperti wing needle tetapi ukurannya  besar. Jika menggunakan AV-Fistula in dilakukan dua kali  pen usukn.

C.    Konsep Pengetahuan
a.      Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu usaha yang mendasari seseorang berfikir secara ilmiah, sedangkan tingkatnya tergantung path ilmiah pengetahuan atau dasar pendidikan orang tersebut (Nursalam dan Pariani, 2001). Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what” yang tei:jadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan teijadi melalui panca indera pengithatan, pendengaran, penciuman, rasa dan mba yang sebagian besar dipengaruhi oleh mata dali telinga (Notoatmodjo, 2010).
Handoko (2000) mengatakan bahwa semakin baik pengetahuan  responden, semakin baik pula perilaku seseorang terhadap kesehatannya  dan sebaliknya juka pengetahuan tidak baik maka upaya perlindungan diri terhadap penyakit rendah.
b.      Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada  6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitifyaitu:
1)      Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari  sebelumnya.
2)      Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3)      Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang  telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenamya.
4)      Analisis (Analysys)
Adalah suatu kernampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5)      Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru.
6)      Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi mi berkaitan dengan kemampuan untuk  melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviaor), pengetahuan yang rendah kemungkinan dapat mehgurangi rasa percaya dalam hal wawasan maupun kemampuan dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuaan seseorang maka akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 2000).
Arikunto (2006) membagi tingkat pengetahuan menjadi 3 bagian yakni
a.       Baik: Hasil presentase 76% - 100%
b.      Cukup Hasil presentase 56% —75%
c.       Kurang : Hasil presentase <55%



D.    Konsep Sikap
1.      Pengertian
Sikap adalah evaluasi umun yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau issue (Azwar S. 2000). Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap obyek tadi (Gerungan, 2000). Syah (2000), mengatakan sikap merupakan suatu keadaan internal yang mempengaruhi pilibail tindakan individu terhadap obyek.
Dan beberapa pengertian di atas maka disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial denagn perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitamya.
Gerungan (2000), memjelaskan tentang sikap yaitu:
a.       Sikap tumbuh dan dipelajani sepenjang perkembangan orang yang bersangkutan dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu.
b.      Sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan dalam proses belajar.
c.       Sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri sendiri.
d.      Sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan emosional.
2.      Proses Terjadinya Sikap
Menurut Notoatmodjo (2010), proses terjadinya sikap digambarkan sebagai berikut: Stimulasi rangsangan proses stimulasi reaksi  tingkah laku sikap tertutup
3.      Komponen Pokok Sikap 
Azwar (2000), membagi struktur sikap menjadi 3 (tiga) komponen yang saling menunjang yaitu :
a.       Komponen kognitf
Merupakan reosentasi apa yang dipercaya  Oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai suatu yag dapat disamakan penanganan (opini)
b.      Komponen afektjf
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap yang beratahan terhadap pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang.
c.       Komponen konatif
Merupakan komponen kecenderungan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
4.      Tingkatan Sikap
Notoatmodjo (2010), membagi tingkat sikap meliputi sebagai berikut:
a.       Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan  stimulasi yang diberikan obyek.
b.      Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengeijakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
c.       Menghargai (valuing)
Mengajak orang lam untuk mengerjakan alan mendiskusikan dengan  orang lain
terhadap suatu masalah.
d.      Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas semua yang telah dipilih dengan segala resiko adalali mempunyai sikap yang paling tinggi.
5.      Ciri-ciri Sikap
Sri Utami Rahayuningsih (2008) Psikologi ciri-ciri siikap (Attitude) adalah:
a.       Berorientasi kepada respon: sikap adalah suatu bentuk dan perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mend ukung (unfavourable) pada suatu objek.
b.      Berorientasi kepada kesiapan respon: sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon:  suatu pola perilaku tenclensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
c.       Berorientasi kepada skema triadic : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya. 
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dininya sendini, orang lain, obyek atau issue (Azwar S, 2000).
6.      Cara Pengukuran Sikap
Sunaryo (2004), berpendapat bahwa secari garis hesar pengukuran sikap dibedakan melalui cara yaitu:
a.       Secara langsung
Dengan cara ini, subyek secara langsung diminta bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang diharapkan kepadanya..
1)      Langsung berstruktur
Mengukur sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan diberikan kepada subyek yang diteliti.
2)      Langsung tak berstruktur
Pengukuran sikap yang sederhana dan tidak diperlukan yang cukup mendalam, misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas ataufree interview pengamatan langsung atau survei.
b.      Secara tidak langsung
Cara pengukuran sika dengan menggunakan tes, dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudlan ditanya pendapat responden.
7.      Skala pengukuran sikap
Dalam sikap digunakan skala Likert yaitu skia T:
Rumus:
T=50+10 
Keterangan:
x = sekor responden pada skala sikap yang hendak dirubah menjadi sekor
T
X = mean sekor pada kelompok
S = standar devisi
Hasil akan diolah pada tiap butir pertanyaan. Pertanyaan positif atau mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragu-.ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju,diberi rentang nilai 4, 3, 2, 1, 0 sedangkan pertanyaan negatif atau tidak mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragur agu, tidak setuju, sangat tidak setuju, diberikan rentang nilai 0, 1, 2, 3, 4, selanjutnya hasil skor responden dibandingkan dengan mean sekor kelompok lalu dikategorikan sesuai dengan pertimbangan penelitian sebagai berikut:
Skor T < mean T : favourable
Skor T < mean T : unfavourable

8.      Faktor Yang Mempengaruhi Sikap
Azwar (2005), mengungkapkan faktor yang mempengaruhi sikap sebagai berikut:
a.       Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentuk sikap, pengalaman pribadi  harus meninggaikan kesan yang kuat, karena itu sikap akan lebih  mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
b.      Pengaruh orang lain yang dianggap penting 
Pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikp yang konfirmis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
c.       Pengaruh kebudayaan 
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewamai sikap anggota masyarakat. 
d.      Media massa
Dalam pemberitahuan surat kabar maupun radiO, berita yang seharusnya faktual disampaikan seara obyektif cenderung mempengaruhi sikap orang lain maupun din sendiri.
e.       Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f.       Faktor emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pemyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
E.     Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Pengetahuan merupakan hasil dan tahu dan mi terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2010), tingkat pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi rutinitas menjalani haemodialisa, dimana pengetahuan yang kurang terhadap penyakit dan komplikasi yang terjadi pasien dapat cenderung kurang teratur dalam menjalani program haemodiasisa karena ketidaktahuan atau mengerti tentang penyakit yang di derita. Sedangkan seseorang yang pengetahuan baik dan mengerti tentang penyakit dengan segala komplikasi cenderung akan dapat rutin untuk menjalani program haemoclialisa. Tingkat pengetahuan yang baik, cukup maupun kurang akan mempengaruhi tingkat rutinitas atau keteraturan memjalani program haemodialisa (Notoadmodjo, 2010).
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap tindakan haemodialisa. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien dalam menjalani haemodialisa. Pada awal menjalani haemodialisa, respon pasien seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya darah dan sedih dengan kejadian yang dialami sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat beradaptasi dengan program haemodialisa.
Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan terapi, kepatuhan pasien dalam menjalani rutinitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan pasien gagal ginjal kronik. Salah satu faktor pendukung kepatuhan adalah pengetahuan pasien tentang program terapi yang dijalaninya. tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang penting bagi sumber pengetahuan seorang yang akan mempengaruhi pola berfikir seseorang dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka makin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan makin besar pula tingkat kepatuhannya dalam melakukan program pengobatan terhadap penyakitnya (Hasbullah, 2001).
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar bagi pemikiran seseorang. Status pengetahuan seseorang tentang penyakit gagal ginjal kronik dapat mempengaruhi kemampuannya dalam memilih dan memutuskan terapi haemodialisa yang sesuai dengan kondisinya dengan pengambilan keputusan yang tepat.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung daripada cam berfikir seseorang, termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan sendiri.
F.     Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudali melibalkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju, tidak setuju, balk, tidak balk dan lain sebagainya). Newcomb merupakan salah satu ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Pengukuran silcap seeara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata setuju atau tidak setuju terhadap pemyataan-pernyataan terhadap objek tertentu.
Sikap dapat didefenisikan dalam banyak versi. Menurut Azwar (2005) sikap dapat dikata gorikan kedalam 3 (tiga) orientasi pemikiran yaitu : yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang berorientasi pada sekema triadik. Sebagai landasan utama dan pengukuran sikap adalah pendefinisian sikap terhadap suatu obyek. Dimana sikap terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek tersebut. Sifat yang mendukung (favorable) maupun tidak mendukung/memihak (unvaforable) akan dapat mempengaruhi tingkat prilaku seseorang (Mar’at, 2004).
Sikap mempengaruhi prilaku melewati suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang di peroleh dan pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap prilaku. Pengaruh langsung tersebut akan di realisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu berada dalam situasi yang betul- betul bebas dan berbagal bentuk tekanan atau hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat di harapkan bahwa bentuk- bentuk prilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Terbentuknya suatu prilaku, di mulai dan  pemahaman informasi (stimulus) yang baik kemudian sikap yang di tunjukkan akan sesuai dengan informasi. Kemudian sikap akan menimbulkan respon berupa prilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi. Apabila penerimaan prilaku barn melalul proses yang didasari oleh sikap yang positif maka prilaku tersebut akan berlangsung lama. Sikap merupakan penentu dalam tingkah laku seseorang dalam memutuskan untuk selalu taat menjalani haemodialisa. Sikap mempunyai daya dorong bagi individu untuk berprilaku secara tertentu terhadap objek yang dihadapinya (Mar’at, 2004).
G.    Kerangka Konsep
Hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan  pelaksanaan menjalani haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr M.  Yunus Bengkulu tahun 2012.

H.    Hipotesis Alternatif (ha)
1.      Ada hubungan antara pengetahuan pasien gagal ginj al kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.      Ada hubungan antara sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodsialisa.




BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak terhadap kompleksnya permasalahan kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut pelayanan kesehatan di rumah sakit juga mengalami perkembangan akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat. Apalagi dengan adanya pergeseran budaya yang menyebabkan perubahan pola hidup yang bcrdampak terhadap munculnya berbagai penyakit terminal. Penyakit terminal adalah suatu keadaan yang menurut akal sehat tidak ada harapan lagi untuk sembuh antaranya carsinoma hati, carsinoma paru, carsinoma mammae, diabetes mellitus, miocard infark dan gagal ginjal kronik (GGK) (Nugroho, 2000). 
Penyebab GGK yang paling sering ditemukan di New England adalah glomerulonefritis kronik (24%), nefropati diabetic (15%), penyakit ginjal polikistik dan nefritis intenstinal lain ( 85% ) (Price, 2006). Sedangkan di Amerika Serikat, insiden penyakit mi berkisar 1200 penderita persatu juta penduduk dan di Australia berisar 500 penderita persatu juta penduduk.
Gagal ginjal
kronik perlu mendapatkan perawatan serius karena dengan penurunan fungsi ginjal yang menahun,secara patofisiologis dapat menimbulkan masalah keperawatan maupun aktual maupun resilco yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia seperti kelebihan
volume cairan, potensial kekurangan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan, perubahan integritas kulit, intoleransi aktifitas, potensial terhadap infeksi, berduka dan kekurangan pengetahuan. World Health Organization memperkirakan setiap satu juta jiwa terdapat 23-30 orang yang mengalami gagal ginjal kronik pertahun. Kasus gagal ginjal di dunia meningkat pertahun 50%. Di negara yang sangat maju tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita gagal ginjal kronik (Santoso, 2007). Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan 60.000 orang dengan pertambahan 4.400 paasien barn setiap tahunnya. Sedangkan jumlah pasien cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit. Jumlah mi hanya bisa melayani 4.000 orang setiap tahun. mi berarti jumlali pasien yang dapat dilayani kurang dan 10% (Wijaya, 2009).
Penderita gagal ginjal di provinsi Bengkulu setiap tahunnya mengalami peningkatan, mi dapat dilihat berdasarkan data yang didapat di rekam medik RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Pada tahun 2009 jumlah pasien GGK beijumlah 187 orang, pada tahun 2010 pendenita bei:jumlah 194 ôrang dan path tahun 2011 berjumlah 178 orang.  Haemodialisa harus dilakukan secara teratur tanpa boleh dilewatkan satu hanipun. Biasanya haemodialisa dilakukan 2-3 kali dalam satu minggu yang membutuhkan waktu 3-6 jam setiap kali melakukan haemodialisa. Haemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali jika menjalani pencangkoakan ginjal, kegiatan haemodialisa akan berlangsung terus menerus selama   hidupnya (Lubis, 2006). Apabila haemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan satu kali maka pasien akan mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga daat mengakibatkan kematian (Rubin, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani haemodialisa. Faktor-faktor tersebut antara lain, tingkat pengetahuan penderita, tingkat ekonomi, sikap, usia, dukungan keluarga, jarak dengan pusat haemodialisa, nilai dan keyakinan tentang kesehatan, derajat penyakit, lama menjalani haemodialisa, motivasi dan keterlibatan tenaga kesehatan, kepatuhan pasien dalam menjalani haemodialisa dapat memperpanjang umur dan mendapatkan kesehatan yang lebth baik (Fitriani, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh, pekerjaan, sikap, keyakinan dan lain sebagainya. Serta faktor pendorong (refording factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, motivasi klien, dorongan dan keluarga dan sebagainya. Pengetahuan seseorang sangatlah mempengarubi sikap seseorang untuk melakukan suatu hal. Orang yang ahu tentang pentingnya haemodialisa akan taat menjalani haemodialisa karena tahu akibatnya apabila haemodialisa tidak dilaksanakan dengan rutin. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak tahu apa dainpak dan tidak melaksanakan haemodialisa secara rutin, biasanya tidak mau menjalani haemodialisa.
Berdasarkan survey ftwal yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Desember 2011 di ruang hemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, dan 8 orang pasien yang melakukan haemodialisa 5 diantaranya mengatakan tidak tahu manfaat dan haemodialjsa dan tidak rutin melaksanakan haemodialisa. Sedangkan 3 diantaranya mengatakan paham tentang manfaat haemodialisa dan rutin menjalani haemodialisa. Dan survei awal juga ditemukan 6 orang pasien GGK, 3 diantaranya setuju dilaksanakan haemodialisa dan 3 orang tidak setuju dilaksanakan haemodialisa.
Melihat fenomena di atas bagi peneliti ada pengaruh pengetahuan dan sikap pasien untuk menjalani program haemodialisa. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimilikinya akan semakin baik, sehingga sikap pasien untuk menjalani haemodialisapun akan semakin positif. Maka penulis tertarik meneliti hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa di rumah sakit dr. M. Yunus kota Bengkulu tahun 2012.

B.     Rumusan Masalah
      Dan survei ulang path latar belakang di atas, peneliti merumuskan  masalahyalcni, masih adanya pasien GGK yang tidak rutin dalam pelaksanaan baemodialisa.




C.    Pertanyaan Penelitian
      Pertanyaan pada penelitian mi adalah apakah ada hubungan pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa diruang haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.

D.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan umum
            Tujuan penelitian ml adalah untuk mengetabui hubungan pengetahuan  dan sikap pasien GGK dengan rutinitas pelaksanaan menjalani  haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012. 
2.      Tujuan khusus
a.       Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012. 
b.      Diketahui distribusi frekuensi silcap pasien GGK di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
c.       Diketahui distribusi frekuensi rutinitas pelaksanaan menjalani haemodialisa pada pasien GGK di RSUI) dr. M. Yunus Bengkulu  tahun 2012.
d.      Diketahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa tahun 2012.
e.       Diketahui hubungan sikap pasien (30K dengan pelaksanaan haemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012.
E.     Manfaat Penelitian
1.      Secara Teoritis 
Hasil penelitian mi diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah  yang dapat bermanfaat dalam perembangan kurikulum keperawatan  medikai bedaii dan sebagai sumber pustaka yang berhubungem dengan  gagal ginjal kronik dan haemodialisa.
Secara Praktis  Sebagai bahan masukan daim rangka peningkatan program pelayanan kesehatan dan sekaligus memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan dan sikap pasien GGK dengan pelaksanaan menjalani haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkii1u.  
Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang medukung penelitian tentang hubungan pengetahuan dan dikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2012, diantarana adalah sebagai berikut
1.      Andre Novianto (2011) meneliti tentang hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa di ruang Haemodialisa RSUD dr. M. Yunus. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan tingkat pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.      Purwanti (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kepatuhan pasien GGK dalam menjalani program haemodialisis di ruangan haemodialisa rumah sakit dr Moewardi Surakarta. Dan penelitian mi ditemukan adanya hubungan sikap, tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan asien dalam pelaksanaan haemodialisa.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1.      Pengertian
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolik, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhimya hancur dan diganti dengan jaringan parut. Meskipun pcnyebabnya banyak, gambaran klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu dengan yang lain (Price dan Wilson, 2006).
2.      Etiologi
Gagal ginjal ditandai oleh ketidakmampuan ginjal mempertahankan fungsi normalnya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalani keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik terjadi  setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron (Chandrasoma, 2006; Price dun Wilson, 2006).
Penyebab gagal ginjal kronik tersering dibagi menjadi 8 kelas:
a.       Infeksi tubulointerstisial : pielonefritis kronik
b.      Peradangan glomerulunefritis
c.       Hipertensi nefroskierosis, stenosis arteri renalis
d.      Gangguanjaringan ikat : LSE, skierosis sistemik
e.       Kongenital : penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
f.       Metobloki : diabetes melitus, gout, dli
g.      Nefropati toksik : nefropati timah
h.      Nefropati obstruktif : batu ginjal, hiperplasi prostat, tumor (Reilly, 2005)



3.      Patofisiologi
                      Gangguan   Hipertensi      Infeksi peradangan         gangguan     penyakit         obstruksi      obat dan
                      Metabolik                         (piolenifitis dan             kongemtal      jaringan            traktus       racun
                                                               Glomerunefritis)           heredital         menyambung   urmarius







 




Terjadi kerusakan nefron 70-80%





 



Menurunnya fungsi ginjal





 Penurunan GFR


 













Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik (Brunner dan Suddarth, 2001)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dan K/DOQI NKF
KDOQI di Amerika pacla tahun 2002 mengesahkan kiasifikasi PGK yang kemudian diterima secara luas oleh komunitas nefrologis internasional. Kiasifikasi mi mendefinisikan LFG yang disebut PGK apabila < 60 mi/mm/i ,73 m2 atau> 60 mllmin/1 ,73 m2 ditambah dengan kerusakan ginjaldan menetap > 3 bulan. Kiasifikasi mi jelas mengliaruskan praktisi klinis untuk mengukur atau memperkirakan LFG yang mana formula MDRD dapat mengakomodasi keperluan tersebut. Terminologi PGK mi menggantikan istilah gagal ginjal kronik (GGK) atau insufiensi yang tidak jelas defmisinya, walaupun kontroversi tentang irii masih berlanjut.
Pada PGK stadium 1 pasien memiliki LFG normal bahkan meningicat dibandingkan pada stadium 2 dimana LFG menurun. Pasien dikategorikan P0K tidak hanya berdasarkan eGFR tetapi harus didukung bukti bahwa ada kerusakan ginjal. Untuk PGK stadium 3 dan 5 tidak diperlukan data kerusakan ginjal. The Usa national kidneyfoundation ‘s KIDOQI mengeluarkan paiduan dan kiasifikasi dan P0K sebagai berikut:
Kiasifikasi kerusakan ginjal didefinisikan sebagai:
a.       Abnormal patologi atau adanya penanda kerusakan ginjal seperti abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine atau pemeriksaan  imaging walaupun LFG turun ringan (PGK stadium 1-2).
b.      PGK stadium 3-5 hanya memerlukan penurunan LFG dengan atau bukan tanpa bukti kerusakan ginjal.
c.       Penurunan LFG dengan atau tanpa kerusakan ginjal harus ada> 3 bulan.
PGK Stadium 1 dan 2
Formula MORD kurang dapat diandalkan pada fungsi ginjal normal atau sedikit terganggu, disebabkan oleh adanya hubungan yang terbaik antara kadar kratinin dan LFG dan formula mi didapatkan dan pasien dengan penyakit ginjal yang biasanya memiliki LFG < 60m1/menitJl ,73 m2. Saat mi masih ada penelitian tentang formula yang dapat mengakomodasikan LFG dengan spektrum yang lebth luas. Sementara itu ketepatan metoda yang ada masih disebut suspek. Oleh karena itu, laporan eGFR untuk stadium  mi biasa disebut eGFR> 60 mllmenit/ 1,73 m2 bahkan di Inggnis eGFR diminta termasuk> 60 mI/menit/1,73 m.
Hal yang penting pada golongan mi adalah kiasifikasi adanya
kerusakan ginjal seperti proteinunia, ginjal polikistik dan uropati
obstruktif. Pasien dengan tanda kerusakan ginjal itu penting untuk  segera dirujuk ke nefrologist untuk kemudian diinvestigasi dan diberi penatalaksanaan sesuai pancluan’ yang ada.
PGK Stadium 3
Pasien P0K stadium 3 menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang signifikan dan merupakan golongan yang paling lemah terdeteksi. Golongan mi memiliki resiko terkena penyakit kardiovaskular yang tinggi dibandingkan dengan normal ( peningkttan 43-100%) dan golongan mi biasanya meninggal akibat penyakit kardiovaskular sebelum mencapai P0K stadium 5 dan memerlukan dialisis. Peningkatan resiko kardiovaskuler mulai meningkat pada LFG 75 ml/menitll,73 m2. Perkiraan ini berdasasarkan penelitian dengan menggunakan formula CD dan MDRD dan belum ada cut off untuk hal ini.
PGK stadium 3 terjadi 4-5% dan populasi, hal mi dapat ditangaiii oleh nefrologist seluruhnya. Maka perlu keterlibatan pusat pelayanan primer untuk menangani golongan ini.
PGK Stadium 4 dan 5
Pada saat ini diperkirakan path populasi PGK path stadium 4 dan 5 sebesar 0,4 % walaupun perkiraan stadium 5 didapatkan dan prevelansi pasien dialsis dan transpiantasi di Amerika Serikat yang mungkin tidak terlalu akurat di negara lain yang memiliki pasien dialisis yang lebih sedilcit. Vaniasi insidensi dan prevelansi PGK yang diterapi sangat tinggi terutama di negara mdustri. Sebagai contoh  Inggris memiliki prevelansi PGK dengan terapi ginjal pengganti yang rendah dan diasumsikan bahwa pasien yang hilang mi tidak pemah terindentifikasi dan tidak pernah dirujuk ke nefrologis. Walaupun pasien tidak mendapatkan terapi dialisis tetapi pasien masih mendapat keuntungan untuk penatalaksanaan anemia dan kelainan tulangnya. Fonnula MDRD sulit diandalkan untuk pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk, karena ekresi kreatinin mendabat konstribusi dan sekresi tubulus danjalur ekstra renal, selain itu status nutrisi mempengaruhi validitas formula mi pula. Walaupun demikian kepentingan formula MDRD pada pasien stadium mi adalah untuk menarik perhatIan Iebih banyak clan nefrologist.
4.      Manifestasi Kilnis
Udema, hipertensi, anoreksia, nausea, vomitus, ulserasi lambung, stomatitis, proteurineria, hematunia, letargi apatis, penurunan kosentrasi, anemia, perdarahan, turgor kulit jelek, gatal path kulit, distrofi renal, hiperkalimea, asidosis metabolic.
5.      Komplikasi Gagal Gmjal Kronik
Menurut Smaltzer (2000), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendeatan kolaboratif dalam perawatan, mencakupi:
a.       Hiperkalemia: akibat penurunan eskresi, asidosis metabolic.
b.      Perikarditis : efusi feri kardial, dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c.       Hipertensi : akibat retensi cairan dan natrium serta mall fungsi sistem renin, angiotensin, akiosteron, sindrom uremik.
d.      Anemia: akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastro entestinal.
e.       Penyakit tulang serta kiasifikasi metastatik akibat retensi fosfat.


6.      Tes Diagnostik
a.       Urine
Volume, warna, sadimen, beratjenis, kreatinin, protein.
b.      Darah
BUN/kretinin, hitting darah lengkap, sel darah merah, natrium serum,
kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas
serum.
c.       Pielogrfi intravena
1)      Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
2)      Pielografi retregrat
3)      Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
4)      Arteriogram ginjal
5)      Mengkaji siriFulasi ginjal dan mengindentifikasi ekstravaskular, massa.
d.      Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
e.       Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemiban bagian atas.
f.       Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
g.      Endoskopi ginjal retroskop
Hematuria dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal keluar bath,  hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
h.      EKG
Mungkin abnormal menunjukkan keticlak seimbangan elektropik dan  asam basa, aritmia, hipertrofi vertikel dan tanda-tanda perikarditis.


7.      Penatalaksanaan
a.      Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk menegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaik abnormalitas biokimia; menyebabkan caftan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
b.      Penanganan Hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling  mengancam jiwa pada gangguan mi. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar lektrolit serum (nilai kalium> 5.5 meq/1 ; Si: 5.5 mmol/1) pembahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan  perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
c.       Mempertahan Keseimbangan Cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut hams diawasi dengan seksama. Paremeter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat harian, asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema sedangkan asupan yang terlalu mengakibadkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan ginjal. 
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan  adalah
Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL)  (Brunner dan Suddarth, 2001)

B.     Konsep Haemodialisa
1.      Pengertian Haemodialisa
Haemodialisa berasal dan kata hemo yang berarti darah, dan dialisa yang berarti pemisahan atau filtrasi. Haemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Haemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien  berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Terapi haemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dan peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat,dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
2.      Tujuan Haemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan haemodialisa mempunyai tujuan:
a.       Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin.
b.      Membuang kelebihan air.
c.       Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d.      Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e.       Memperbaiki status kesehatan penderita.
3.      Indikasi dan Kontra Indikasi Haemodialisa
Menurut konsenus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dan 15 mL/menit, LFG kurang dan 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dan 5 mL/memt walaupun tanpa gej ala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut sepcrti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.  Indikasi hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan EDRS (misalnya, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik, perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan perdaràhan. Kontra indikasi dan hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler siilit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
4.      Proses Haemodialisa
Dalam kegiatan haemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut:
a.       Proses difusa yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kada di dalam drah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang di pindahkan ke dalam dialisat.
b.      proses ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c.       Proses Osmasis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia.
d.      Alasan Dilakukannya Dialisa
Dialisa di lakukanjika gagal ginjal menyebabkan:
a.       Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
b.      Perikarditis (peradangan kantongjantung)
c.       Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lainnya.
d.      Gagal jantung
e.       Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)
f.       Frekuensi Dialisa.
Frekuensis, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa,  tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 V  kalilminggu.
Program dialisa dikatakan berhasil jika:
1)      Penderita kembali menjalani hidup normal.
2)      Penderita kembali menjalanidiet yang normal.
3)      Jumlah sel darah merah dapat di toleransi.
4)      Tekanan darah normal.
Dialisa bisa di gunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kroms atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa han atau beberapa han atau beberapa minggu, sampai fungsi gmjal kembali normal.
5)      Komplikasi Pada Haemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005), selama tindakan haemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain kram otot, hipotensi, aritmia, sindrom ketidak seimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, gangguan pencernaan, infeksi atau peradangan biasa, pembekuan darah dan lain-lain.
Pada peritonial dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah peritoneum (selaput yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput mi memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dan darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan di masukan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus di biarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dan aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan di keluarkan, dan di ganti dengan cairan yang baru. (Medicastore, 2006).
Ada empat macam dialisis peritoneal yang kini banyak di gunakan, satu untuk dalisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
a.       Manual intermittent peritoneal dialisis
b.      Continuous cycler —assisted pperitoneal dialysis
c.       Continuous ambulatory peritoneaL dlalisis (CAPD)
d.      Automated intermitten oeritoneal dialisys (IPD) 
Metode haemodialisis laiunya:
1.      High-Flux Dialisys
2.      Continuous Arteriovenous Hemofiltration (CAVH)
3.      Continuous Arteriovenous Hemodialysis (CAVHD), (Brunner dan Suddarth, 2002).
4.      Continuous Renal Replacement Theraphy (CRRT)
5.      Peralatan haemodialisa
a.       Arterial Venouse Blood Line (AVBL)
1.      Arterial Venouse Blood Line terdiri dari:
a)      Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing-tubing/line plastik yang  menghubungan darah dan tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut inlet ditandai dengan  warna merah.
b)      Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastik yang rnenghubungkan darah dan dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. Proiming voume adalah cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dan AVBL dan kompartemen  adalah konektor, ujung runcing, segmen pump, tubing  arterial/venouse pressure, tubing udara, bubble trap,  tubing infuse/transfuse set.
b.      Dializer/ginjal btiatan (arterWcial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dan 2 ruang/kompartemen, yaitu:
1.      Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah.
2.      Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat.
3.      Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
4.      Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
a.       Air Wated Treatment
Air dalam tindakan hemodialisis dipakai sebagai pencampur dialisat peka (dialisol). Air mi dapat berasal dan berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advhemodialisaement of Medical Instrument). Junilah air yang dibutuhkan untuk saatu session hemodialisis seseorang pasien adalah sekitar 120 Liter.


b.      Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung larutan elekrolit dalam komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk cair (slap pakai).
c.       Mesin Haemodialisa
Ada bermacam-macam mesm haemodialisis sesuai dengan mereknya. Tetapi pririsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dialisat, system pemantauan mesin trdiri dan blood circuit dan dialissat circuit dan berbagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti hepanin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, cateter vena dan blood volume monitor.
d.      Perlengapan Haemodialisis Lainnya
Jarum fungsi, adalah jarum yang dipakai pada saat  melakukan fungsi akses vaskular, macamnya:
1)      Single needle
Jarum yang dipakai hanya satu, tetapi mempunyai dua  cabang, yang satu untuk darah masuk dan yang satu untuk  darah keluar.
2)      AV-Fistula
Jarum yang bentuknya seperti wing needle tetapi ukurannya  besar. Jika menggunakan AV-Fistula in dilakukan dua kali  pen usukn.

C.    Konsep Pengetahuan
a.      Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu usaha yang mendasari seseorang berfikir secara ilmiah, sedangkan tingkatnya tergantung path ilmiah pengetahuan atau dasar pendidikan orang tersebut (Nursalam dan Pariani, 2001). Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what” yang tei:jadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan teijadi melalui panca indera pengithatan, pendengaran, penciuman, rasa dan mba yang sebagian besar dipengaruhi oleh mata dali telinga (Notoatmodjo, 2010).
Handoko (2000) mengatakan bahwa semakin baik pengetahuan  responden, semakin baik pula perilaku seseorang terhadap kesehatannya  dan sebaliknya juka pengetahuan tidak baik maka upaya perlindungan diri terhadap penyakit rendah.
b.      Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada  6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitifyaitu:
1)      Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari  sebelumnya.
2)      Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3)      Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang  telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenamya.
4)      Analisis (Analysys)
Adalah suatu kernampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5)      Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru.
6)      Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi mi berkaitan dengan kemampuan untuk  melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviaor), pengetahuan yang rendah kemungkinan dapat mehgurangi rasa percaya dalam hal wawasan maupun kemampuan dalam mengambil keputusan baginya. Semakin baik pengetahuaan seseorang maka akan membuat seseorang semakin baik berperilaku (Purwanto, 2000).
Arikunto (2006) membagi tingkat pengetahuan menjadi 3 bagian yakni
a.       Baik: Hasil presentase 76% - 100%
b.      Cukup Hasil presentase 56% —75%
c.       Kurang : Hasil presentase <55%



D.    Konsep Sikap
1.      Pengertian
Sikap adalah evaluasi umun yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau issue (Azwar S. 2000). Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap obyek tadi (Gerungan, 2000). Syah (2000), mengatakan sikap merupakan suatu keadaan internal yang mempengaruhi pilibail tindakan individu terhadap obyek.
Dan beberapa pengertian di atas maka disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial denagn perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitamya.
Gerungan (2000), memjelaskan tentang sikap yaitu:
a.       Sikap tumbuh dan dipelajani sepenjang perkembangan orang yang bersangkutan dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu.
b.      Sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan dalam proses belajar.
c.       Sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri sendiri.
d.      Sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan emosional.
2.      Proses Terjadinya Sikap
Menurut Notoatmodjo (2010), proses terjadinya sikap digambarkan sebagai berikut: Stimulasi rangsangan proses stimulasi reaksi  tingkah laku sikap tertutup
3.      Komponen Pokok Sikap 
Azwar (2000), membagi struktur sikap menjadi 3 (tiga) komponen yang saling menunjang yaitu :
a.       Komponen kognitf
Merupakan reosentasi apa yang dipercaya  Oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai suatu yag dapat disamakan penanganan (opini)
b.      Komponen afektjf
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap yang beratahan terhadap pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang.
c.       Komponen konatif
Merupakan komponen kecenderungan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki seseorang.
4.      Tingkatan Sikap
Notoatmodjo (2010), membagi tingkat sikap meliputi sebagai berikut:
a.       Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan  stimulasi yang diberikan obyek.
b.      Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengeijakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
c.       Menghargai (valuing)
Mengajak orang lam untuk mengerjakan alan mendiskusikan dengan  orang lain
terhadap suatu masalah.
d.      Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas semua yang telah dipilih dengan segala resiko adalali mempunyai sikap yang paling tinggi.
5.      Ciri-ciri Sikap
Sri Utami Rahayuningsih (2008) Psikologi ciri-ciri siikap (Attitude) adalah:
a.       Berorientasi kepada respon: sikap adalah suatu bentuk dan perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mend ukung (unfavourable) pada suatu objek.
b.      Berorientasi kepada kesiapan respon: sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon:  suatu pola perilaku tenclensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
c.       Berorientasi kepada skema triadic : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya. 
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dininya sendini, orang lain, obyek atau issue (Azwar S, 2000).
6.      Cara Pengukuran Sikap
Sunaryo (2004), berpendapat bahwa secari garis hesar pengukuran sikap dibedakan melalui cara yaitu:
a.       Secara langsung
Dengan cara ini, subyek secara langsung diminta bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang diharapkan kepadanya..
1)      Langsung berstruktur
Mengukur sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan diberikan kepada subyek yang diteliti.
2)      Langsung tak berstruktur
Pengukuran sikap yang sederhana dan tidak diperlukan yang cukup mendalam, misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas ataufree interview pengamatan langsung atau survei.
b.      Secara tidak langsung
Cara pengukuran sika dengan menggunakan tes, dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudlan ditanya pendapat responden.
7.      Skala pengukuran sikap
Dalam sikap digunakan skala Likert yaitu skia T:
Rumus:
T=50+10 
Keterangan:
x = sekor responden pada skala sikap yang hendak dirubah menjadi sekor
T
X = mean sekor pada kelompok
S = standar devisi
Hasil akan diolah pada tiap butir pertanyaan. Pertanyaan positif atau mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragu-.ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju,diberi rentang nilai 4, 3, 2, 1, 0 sedangkan pertanyaan negatif atau tidak mendukung untuk kategori sangat setuju, setuju, ragur agu, tidak setuju, sangat tidak setuju, diberikan rentang nilai 0, 1, 2, 3, 4, selanjutnya hasil skor responden dibandingkan dengan mean sekor kelompok lalu dikategorikan sesuai dengan pertimbangan penelitian sebagai berikut:
Skor T < mean T : favourable
Skor T < mean T : unfavourable

8.      Faktor Yang Mempengaruhi Sikap
Azwar (2005), mengungkapkan faktor yang mempengaruhi sikap sebagai berikut:
a.       Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentuk sikap, pengalaman pribadi  harus meninggaikan kesan yang kuat, karena itu sikap akan lebih  mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
b.      Pengaruh orang lain yang dianggap penting 
Pada umumnya individu cenderung untuk memiliki sikp yang konfirmis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
c.       Pengaruh kebudayaan 
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewamai sikap anggota masyarakat. 
d.      Media massa
Dalam pemberitahuan surat kabar maupun radiO, berita yang seharusnya faktual disampaikan seara obyektif cenderung mempengaruhi sikap orang lain maupun din sendiri.
e.       Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f.       Faktor emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pemyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
E.     Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Pengetahuan merupakan hasil dan tahu dan mi terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2010), tingkat pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi rutinitas menjalani haemodialisa, dimana pengetahuan yang kurang terhadap penyakit dan komplikasi yang terjadi pasien dapat cenderung kurang teratur dalam menjalani program haemodiasisa karena ketidaktahuan atau mengerti tentang penyakit yang di derita. Sedangkan seseorang yang pengetahuan baik dan mengerti tentang penyakit dengan segala komplikasi cenderung akan dapat rutin untuk menjalani program haemoclialisa. Tingkat pengetahuan yang baik, cukup maupun kurang akan mempengaruhi tingkat rutinitas atau keteraturan memjalani program haemodialisa (Notoadmodjo, 2010).
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap tindakan haemodialisa. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman pasien dalam menjalani haemodialisa. Pada awal menjalani haemodialisa, respon pasien seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya darah dan sedih dengan kejadian yang dialami sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat beradaptasi dengan program haemodialisa.
Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan terapi, kepatuhan pasien dalam menjalani rutinitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan pasien gagal ginjal kronik. Salah satu faktor pendukung kepatuhan adalah pengetahuan pasien tentang program terapi yang dijalaninya. tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang penting bagi sumber pengetahuan seorang yang akan mempengaruhi pola berfikir seseorang dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka makin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan makin besar pula tingkat kepatuhannya dalam melakukan program pengobatan terhadap penyakitnya (Hasbullah, 2001).
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar bagi pemikiran seseorang. Status pengetahuan seseorang tentang penyakit gagal ginjal kronik dapat mempengaruhi kemampuannya dalam memilih dan memutuskan terapi haemodialisa yang sesuai dengan kondisinya dengan pengambilan keputusan yang tepat.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung daripada cam berfikir seseorang, termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan sendiri.
F.     Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan Haemodialisa
Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudali melibalkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju, tidak setuju, balk, tidak balk dan lain sebagainya). Newcomb merupakan salah satu ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Pengukuran silcap seeara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata setuju atau tidak setuju terhadap pemyataan-pernyataan terhadap objek tertentu.
Sikap dapat didefenisikan dalam banyak versi. Menurut Azwar (2005) sikap dapat dikata gorikan kedalam 3 (tiga) orientasi pemikiran yaitu : yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang berorientasi pada sekema triadik. Sebagai landasan utama dan pengukuran sikap adalah pendefinisian sikap terhadap suatu obyek. Dimana sikap terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek tersebut. Sifat yang mendukung (favorable) maupun tidak mendukung/memihak (unvaforable) akan dapat mempengaruhi tingkat prilaku seseorang (Mar’at, 2004).
Sikap mempengaruhi prilaku melewati suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang di peroleh dan pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap prilaku. Pengaruh langsung tersebut akan di realisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu berada dalam situasi yang betul- betul bebas dan berbagal bentuk tekanan atau hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat di harapkan bahwa bentuk- bentuk prilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Terbentuknya suatu prilaku, di mulai dan  pemahaman informasi (stimulus) yang baik kemudian sikap yang di tunjukkan akan sesuai dengan informasi. Kemudian sikap akan menimbulkan respon berupa prilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi. Apabila penerimaan prilaku barn melalul proses yang didasari oleh sikap yang positif maka prilaku tersebut akan berlangsung lama. Sikap merupakan penentu dalam tingkah laku seseorang dalam memutuskan untuk selalu taat menjalani haemodialisa. Sikap mempunyai daya dorong bagi individu untuk berprilaku secara tertentu terhadap objek yang dihadapinya (Mar’at, 2004).
G.    Kerangka Konsep
Hubungan pengetahuan dan sikap pasien gagal ginjal kronik dengan  pelaksanaan menjalani haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD dr M.  Yunus Bengkulu tahun 2012.

H.    Hipotesis Alternatif (ha)
1.      Ada hubungan antara pengetahuan pasien gagal ginj al kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodialisa.
2.      Ada hubungan antara sikap pasien gagal ginjal kronik dengan rutinitas pelaksanaan haemodsialisa.


No comments:

Post a Comment